"Ada Pak..." Â kelihatan dan terdengar bingung.
"Kelas berapa?"
"Dua..."
"Lah pas, belajar perkalian dan pembagian pada adikmu lagi ya...."
Terlihat, terbukti, bahwa kelas XI SMK harus belajar bareng dengan anak kelas II sekolah dasar, matematika dasar lho ini, bukan hitungan yang rumit dan njlimet.
Beberapa hal layak dicermati mengenai fenomena ini;
Pertama, sekolah yang diwajibkan menaikkan siswa-siswinya. Tanpa mau tahu kemampuannya sudah layak naik kelas atau belum. Masalahnya tidak terselesaikan, namun menunda masalah, bayangkan hitungan sesederhana itu jika di dunia kerja seperti apa?
Kedua, keberadaan HP, jelas juga kalkulartor sangat mudah digunakan. Nah, hitung-hitungan sederhana begitu tidak mampu. Padahal ini penting juga dalam hidup sehari-hari.
Ketiga, mumpet, pembelajaran klasikal membuat anak didik bersembunyi di balik kemampuan teman-temannya. Pribadi demikian biasa juga mlipir, lari dari masalah.
Keempat, peran guru yang terjerat UU Pendidikan, takut polisi, takut Komnas HAM, Komnas Anak, Â membuat guru tidak bisa memaksa anak untuk belajar keras. Takut disalahartikan dan malah dipolisikan, bisa celaka.
Kondisi yang tidak ideal ini sungguh terjadi di dunia pendidikan. Belum lagi bicara mengenai ideologi dan politik yang masuk juga dalam dunia pendidikan. Miris, pendidikan sudah tidak karu-karuan.