Minta Kursi ke Garuda dan Egoisme Beragama Sang Dewan
Ingat, ini bukan soal agama. Bicara dan opini soal cara beragama. Males ngributin yang tidak dibahas dan yang gak esensial. Paling juga masih ada yang nyolot bahwa itu kewajiban bla...bla... kalau hanya mau kek itu, tulis sendiri. Paham.
Petinggi Garuda menyatakan kepada DPR RI bahwa mereka, pihak manajemen Garuda mendapatkan surat dari sekretariatan DPR untuk menyediakan 80 kursi untuk anggota dewan demi bisa naik haji. Beberapa catatan penting di sini adalah,
Pertama, haji itu kewajiban bagi yang mampu. Nah, apakah anggota dewan itu tidak mampu, sehingga minta sokongan Garuda? Naif jika demikian. Lain   kalau bicara karena sudah diambang batas waktu mereka duduk di dewan, tahun berikutnya belum tentu, kesempatan terakhir untuk bisa mendapatkan fasilitas.
Lepas dari kewajiban agama, namunjuga punya kemampuan sendiri, jauh lebih mampu dan hanya tidak mau. Jika hanya soal beaya, itu kan mental kere. Harga diri di mana, merasa mampu tapi minta ditanggung negara
Kedua. Antrian untuk naik haji itu bisa puluhan tahun. Enak banget ini langsung berangkat, naik pesawat minta lagi. Mosok tidak malu sih dengan perjuangan rakyat yang katanya diwakili? Aneh gak dengan model pejabat yang begitu?
Ketiga, jika ada anggota dewan dari Demokrat, harusnya dobel malunya. Ketumnya teriak-teriak negara tidak baik-baik saja, namun malah minta naik haji gratis lagi. Kan ngaco namanya. Semoga Fraksi Demokrat gak ada deh.
Keempat, penerbangan haji itu sangat sibuk. Bisa dibayangkan berapa ratus penerbangan dalam satu hari, dan hanya pada titik tertentu. Tidak akan bisa didistribusikan di kota lain. Nah, pasti pemerintah Kerajaan Saudi Arabia sudah mengatur itu dengan sedemikian detail. Penambahan satu saja penerbangan bukan sebuah hal yang sederhana, halah siji thok ae lho. Gundulmu bothak.
Kelima, bagaimana menghayati ritual keagamaan secara sempit. Aji mumpung, lha ibadah kog bukan karena usaha sendiri dengan segala susah dan deritanya. Esensi ibadah itu kan komunikasi, kebersamaan dengan Sang Pencipta, sangat mungkin ada kendala dan kesulitan. Di sanalah kwalitas iman dan beragama itu teruji.
Keenam. Salah satu inti beragama itu sikap tanggung jawab. Tugas pokok anggota dewan itu adalah membuat UU bersama dengan pemerintah. Bagaimana khabar  pembuatan UU dengan inisiator para politikus di gedung dewan? Berapa banyak yang mereka    usulkan?
Jauh lebih banyak cakap mengritik usulan pemerintah. Memboikot, dan menyabot apa yang ditawarkan pemerintah. Miris sebenarnya, malah mendengar minta fasilitas seperti ini.
Ketujuh. Salah satu fundamen beragama adalah menyingkirkan keburukan dan kejahatan. Salah satu yang paling parah itu korupsi. Lha faktanya RUU Penyitaan Aset mandeg di kamar dewan. Bagaimana mereka  mau berhaji, baca beribadah jauh-jauh namun menyembunyikan kebusukan di dalam kamarnya sendiri.
Ini persoalan serius. Bagaimana pembangunan negeri ini dirongrong bandit-bandit berdasi, dan payung hukum yang  mau dibuat malah dihambat. Hoiiii bangun, dan sadar, jangan karena ibadah, ritual, dan kata-kata kesalehan namun abai keadilan dan kebenaran di depan mata.
Masih juga minta fasilitas, padahal gaji, tunjangan, uang ini dan itu untuk berangkat haji lima kali pun masih cukup. Tamak.
Kedelapan. Ternyata masih perlu banyak literasi, bagaimana hidup baik itu tidak sekadar, tidak cukup hanya karena ritual keagamaan dipenuhi. Â Jika saja, sedikit saja orang-orang di negeri ini menyadari bahwa beribadah, namun juga masih berbuat maksiat itu malu, negeri ini jauh lebih maju dari apa yang sedang kita jalani hari-hari ini.
Kesembilan. Mengaku religius, antri beribadah puluhan tahun, baca diwakili anggota dewan dengan minta kursi sehingga cepet, namun fitnah, hoax, pemutarbalikan fakta terjadi di mana-mana. Mereka berseru-seru dengan sangat merdu dengan propaganda dibalut bahasa agamis, padahal laku iblis yang ada.
Kesepuluh. Apakah yang tertera di atas bisa dibantah? Jika iya silakan tulis, jangan hanya koar-koar dan melakukan intimidasi, copot label, dan hapus artikel.
Beragama itu harusnya lebih bijak, lebih manusiawi, lebih baik dalam tutur kata, perilaku, pilihan mengarah kepada kebenaran. Lha ini malah sebaliknya. Gembar-gembor, dikit-dikit penistaan agama, namun maling, menebarkan hoax, dan memelintir fakta demikian saja, tanpa merasa bersalah. Lha ke mana itu ibadah dan ritual keagamaan yang dijalani?
Egoisme itu ciri iman yang masih dangkal. Nah, kebanyakan orang negeri ini masih demikian. artinya, ritualnya berhenti pada titik itu, bukan mengubah perilaku menjadi lebih baik. Kanak-kanak dalam tubuh dewasa. Miris.
Kesadaran, semakin tinggi keimanan, hidup beragama, orang seharusnya jadi lebih bijak, toleran, membumi, meringankan beban orang lain. Tidak malah   sebaliknya, menyusahkan hidup pihak lain sebagai kebaikan, berteriak menuding pihak lain sesat, padahal dirinya sendiri juga belum paham.
Ritual dan hapal itu baik adanya, namun tidak cukup tanpa adanya amalan, penggunakannya dalam perihidup yang lebih baik dari hari ke hari. Kapan ya keadaan itu terjadi?
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H