Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrat, Intervensi Hukum, dan Demokrasi

3 Juni 2023   12:20 Diperbarui: 3 Juni 2023   12:54 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi: Kompas.com

Demokrat, Intervensi Hukum, dan Demokrasi

Demokrasi itu salah satu kekuatan dan pilarnya adalah independensi hukum. Supremasi hukum di atas segalanya. Kepastian hukum menjadi ujung tombak dalam menyelesaikan masalah. idealnya bukan tekanan massa, publik, atau ormas. Pun tidak karena viral duluan kemudian diusut dan kasusnya menjadi ketlingsut.

Menarik menjelang pilpres 24 ini,  begitu banyak persoalan hukum dan kemudian melibatkan Partai Demokrat sebagai salah satunya yang paling keras bersuara. Ada gugatan ke MK mengenai penundaan pemilu, ada potensi perpanjangan masa jabatan presiden. Ada pula ke MK mengenai  sistem pemilu terbuka atau tertutup.

Eh masih ada pula khusus kasus personal Demokrat di mana kubu AHY digugat dalam hal kepengurusannya secara PK oleh kubu Moeldoko. Menguras energi besar dan benar-benar pelik bagi AHY dan jajaran. Kubu Moeldoko sangat enteng, apapun yang terjadi itu tidak penting bagi mantan Panglima TNI era SBY itu.

Reaksi apa yang dipertontonkan AHY dan jajaran Demokrat, khususnya Denny Indrayana sangat menarik untuk dilihat lebih jauh. Ini adalah roh di mana Demokrat dibangun. Model menuding, menuduh, dan menglaim ini dan itu.

Beberapa contoh. Pertama, ketika ada KLB di Medan dan mengangkat Moeldoko sebagai ketua umum yang berarti menyingkirkan AHY, reaksinya adalah, Jokowi, istana, penguasa mengudeta kursi ketum dari AHY. Eh setelah gugatan mereka, kubu AHY menang, mengatakan Presiden baik tidak mungkin ikut campur. Padahal MenkumHAM itu bawahan presiden yang sangat mungkin diintervensi.

Pun ketika kini kubu Moeldoko PK lagi-lagi Jokowi yang dituding cawe-cawe, membiarkan, pasti tahu,  dan sebagainya. Lhah mosok lupa sih yang sudah pernah diucapkan dan dinyatakan. Belum juga sewindu, rekam jejak banyak lagi.

Kini, potensi tekanan massa, publik, viral itu tentu akan mewarnai keputusan MK atas apapun hasil yang akan diputuskan. MK sangat mungkin akan tertekan karena banyaknya sorot mata tertuju ke sana.

Ada dua persepsi yang terbangun, pertama, MK memutuskan sebagaimana tidak dikehendaki Demokrat berarti curang, di bawah tekanan "penguasa", dikendalikan pemerintah, menciderai demokrasi, dan sejenisnya.

Padahal belum tentu demikian. Sering bukan kita lihat persidangan yang mengharu biru, ingat bagaimana sidang Anggodo, papa minta saham, Antazari, Nazarudin, pun Anas Urbaningrum. Jangan lupa juga sidang Ahok. Publik pasti paham seperti apa.

Tidak akan ada keputusan yang menyenangkan semuanya. Ada dua sisi yang tidak akan bisa dipuaskan. Kedudukan hakim adalah, membuat potensi kekecewaan itu tidak begitu besar. Keadilan itu tidak serta merta sama kedua-duanya, namun mendudukan di ranah yang paling pas di antara kedua pihak itu.

Persepsi kedua. MK adalah teman seperjuangan yang sedang membela demokrasi. Nah, jika demikian, demokrasi macam apa? Yang sedang dibangun Demokrat dan kawan-kawan, sehingga pihak lawan adalah antidemokrasi. Apakah demikian ini benar?

Itulah sejatinya tidak layak, ketika ada tekanan publik dengan mengaku memperoleh bocoran, apalagi jika hanya asumtif dan sesuai dengan kepentingan sekelompok saja. Padahal mendapat  bocoran ini sebuah pelanggaran hukum.  Mosok tidak tahu sih, aneh.

Membangun demokrasi macam apa, ketika lembaga hukum sekelas MK saja diintervensi dengan cara jalanan. Tentu jalanan dalam konteks ini bukan dengan demo, namun dengan mengaku mendapatkan bocoran. Susah mempercayai penegakan hukum karena begitu banyak intervensi.

Logika mana yang lebih bisa diandalkan, ketika Jokowi berkali ulang mengatakan tidak sesuai konstitusi untuk presiden tiga periode. Pun ia tidak ngebet untuk nyolan-nyalon, namun dibawa partai pemenang pemilu untuk menjadi presiden.

Posisi lain, begitu banyak orang yang ngebet untuk bisa menjadi presiden dengan menyerang Jokowi. Sekarang, lebih pas mana yang menciderai demokrasi, yang maksa jdi presiden dengan mencerca pemerintah, ataukah orang yang taat konstitusi.

Demokrasi itu sederhana kog. Berani menang dengan bertanggung jawab, dan siap kalah dengan hati besar bahwa memang tidak dipilih. Hayo mana yang menuntut ke mana-mana merasa tidak kalah, atau yang memang menang dengan gugatan di mana-mana itu mentah dan kemudian ditolak.

Mengatakan, jika presiden mendatang dibebani utang, kog mau-maunya nyapres-nyawapres jika tahu utang e gede? Aneh apa aneh? Makin banyak bicara makin kelihatan mutunya. Ngaco.

Jangan naif dengan mengatakan intervensi hukum itu hanya bisa dilakukan penguasa, pemerintah, atau presiden dalam hal ini lembaga tinggi negara. Atas nama viral itu bisa dengan sengaja dibentuk. Menyiarkan itu sebagai sebuah dugaan, asumsi melalui media sosial, dan jangan lupa pasti ada buzzer-influencer yang ikut menggaungkan itu.

Tudingan bahwa telah menerima bocoran ini khas bangat Demokrat. Ingat Pak Beye pernah mengatakan sudah mendapatkan bocoran harus turun gunung karena akan banyak kecurangan di pilpres 24. Kembali mendapatkan  bocoran menjadi point penting.

Publik tentu masih ingat bagaimana spionase Australia ternyata menaruh mesin penyadap di istana zaman Pak Beye. Bocoran yang sangat tinggi bukan? Kog suka banget mendapatkan bocoran ya, padahal anak sekolah yang mencari bocoran ujian saja tercela.

Atau rumah ketika bocor mau lantainya, krannya, atau genteng akan cepet-cepet diperbaiki. Lha ini malah bangga memperoleh bocoran. Mana yang menggerogoti demokrasi coba?

          

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun