Harga Buku, Daya Beli, dan Budaya Baca
Tutupnya salah satu toko buku paling legendaris menyisakan sesak bagi pecinta buku. Apakah karena kemajuan dunia digital sehingga toko-toko buku berguguran? Identik dengan media cetak yang makin suram. Lebih pelik lagi dunia buku ini karena juga melibatkan minat, kebiasaan, bahkan budaya, yaitu baca.
Setiap ke toko buku, maunya adalah membeli dengan melihat judul, cover atau kemasan, penulisnya, apa daya keuangan tidak cukup luas untuk memborong itu semua. Paling-paling lari ke ruang atau rak diskonan.
Di sana kadang menemukan buku bagus, murah. Bagus dalam konteks sesuai keperluan dan keuangan. Hal yang realistis perlu diterima bersama, buku cukup mahal.
Nah, ketika buku mahal, kemudian toko buku tutup. Para pelaku perbukuan biasanya lari pada keluhan bajakan, ebook, atau sejenisnya. Namun lupa, bagaimana kebiasaan, budaya membaca itu sangat lemah.
Dunia pendidikan, guru utamanya seharusnya menjadi agen baca terbesar. Sekarang dengan gaji guru sertifikasi, minimal yang bisa dituntut adalah mereka, motor, tas, baju, sepatu, bahkan mobil tidak kalah dengan pegawai lain. Artinya membeli buku satu per bulan, sangat terjangkau.
Apakah itu terjadi? Ingat ini bicara guru sudah bersertifikasi minimal guru tetap. Membeli buku itu relatif mampu. Baru bicara membeli, siapa yang membaca buku secara rutin? Apakah rajin ke perpustakaan minimal, membaca di sana, gratis.
Mengapa buku mahal? Ya karena permintaan sedikit. Mengapa permintaan terbatas? Penyebabnya budaya baca yang sangat rendah. Solusi yang perlu dipikirkan sehingga bisa menekan harga buku untuk terjangkau.
Benar bahwa pembajakan sangat marak, ini juga akibat harga yang tidak mampu bagi kebanyakan warga masyarakat. Masih banyak prioritas lain, motor, makan, atau pakaian lebih terlihat mentereng, dari pada menenteng buku.
Miris ketika di sebuah kota ada toko buku jaringan nasional berdampingan dengan cafe mie kekinian. Di toko buku itu mobil paling 1 atau 2, motor di bawah 10, pengunjung jauh dari puluhan. Antrian di kasir apalagi. Namun di resto mie itu motor puluhan, mobil juga banyak, apalagi antrian pembeli dan yang mau membayar, luar biasa. Setiap kali lewat hal demikian selalu terjadi.