Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

SEA Games, Pembinaan, dan Sportivitas

19 Mei 2023   18:54 Diperbarui: 19 Mei 2023   18:57 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sea Games, Pembinaan, dan Sportivitas

Menarik apa yang tersaji dalam laga final sepak  bola putra Sea Games di Kamboja kemarin. Penantian 32 tahun emas untuk Indonesia bisa tercapai. Sayang bahwa sikap mental secara umum negeri-negeri di Asia Tenggara cenderung tidak mau kalah, kudu menang. Lihat apa yang terjadi di laga final sepak bola putera. Rusuh, sehingga banyak kartu merah dan kuning yang diberikan wasit untuk pemain dan ofisial.

Sebenarnya ini hal klasik yang terjadi di dunia olah raga Asia Tenggara, identik dengan liga sepak bola di Indonesia, tidak siap kalah, kudu menang apapun caranya, kecewa ngamuk, rusuh, dan merusak. Baiknya Indonesia malah di kancah lebih atas tidak demikian. Malah  kini Thailand yang jauh lebih maju sepak bolanya. Lebih banyak memperoleh emas Sea Games, juga peringkat FIFA mereka.

Catatan olah raga Sea Games

Harusnya Sea Games itu menjadi ajang pembinaan, pembibitan, dan proses menuju Asian Games, kemudian Olimpiade, bukan sekadar juara umum denga menjadi jago kandang semata. Ketika bicara Asian Games atau Olimpiade masih terlalu jauh.  Bandingkan dengan Asia Timur, sudah bicara di kancah Olimpiade dan juga Piala Dunia jika bicara sepak bola.

Sikap mau menang berani kalah ini juga menjadi pedoman ketika berdemokrasi. Negeri serumpun Melayu ini masih jauh sikap demikian. Kalah ngamuk, meradang, dan merasa ada yang curang dan sebagainya. Miris jika demikian. Jiwa sportif sangat lemah. Masih perlu banyak belajar untuk berani menanggung kekalahan. Kekanak-kanakan sebenarnya.

Kecurangan, wasit yang ngacau, sering menjadi bahan pemberitaan. Fakta demikian, karena fokusnya adalah juara umum, nomor satu, cara-cara kotor pun dipakai. Ke mana jiwa sportivitas jika demikian bukan?

Selalu tuan rumah adalah juara, model Indonesia, Thailand, Malaysia, kini diikuti Vietnam, dan dulu Philipina saja bisa juara umum pas jadi tuan rumah. Lagi-lagi pastinya akan menggunakan segala cara, termasuk kecurangan, dan menodai sportivitas. Orientasinya adalah juara umum.

Pembinaan terabaikan karena fokusnya adalah juara umum. Jauh lebih penting adalah pembinaan yang memerlukan jam terbang dalam pertandingan. Kompetisi yang benar-benar kompetitif, sportif, dan daya juang tinggi. Sayang itu semua lepas di ajang Sea Games.

Eh malah ada kecemburuan dari cabor lain, khusus Indonesia, ketika ada parade dan cabor sepak bola seolah dianak emaskan. Jangan sampai hal ini  nanti juga terjadi dengan pemberian bonus.

Keadaan-keadaan di atas membuat prestasi olah raga Asia Tenggara masih jalan di tempat. Belum lagi jika bicara teknologi. Mengapa demikian? Teknologi  juga tergantung operatornya, manusianya, pemrogramnya. Masih terlalu jauh jika Asia Tenggara bicara sport dan teknologi. Masih terlalu jadul.

Hal ini termasuk juga pola pikir, terlalu kekanak-kanakan, dan belum cukup mampu bersaing di level yang lebih tinggi. Maunya menang saja jelas jiwa anak-anak. Tidak mau mengakui kemenangan dan ngambeg ketika kalah. Mikirnya nomor satu tapi tidak mau kerja keras dan latihan lebih keras lagi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun