ASO, Kominfo dan Negara Tidak Kalah
Bertahap pelaksanaan ASO atau pemadaman televisi analog menjadi digital. Menyusul Bali, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan pada 20 Maret mendatang. Tepat waktu. Padahal penolakan terhadap ASO ini tidak main-main.
Sekelas Harry Tanu selaku ketua umum partai politik nasional, sekaligus raja di raja media di Indonesia. Ini bukan persoalan sepele, atau kecil. Tudingan bahwa Johnny Plate selaku Kominfo gegabah pun terlontar.
Padahal sejatinya ASO itu perintah UU di mana UU Ciptakerja memerintahkan pelaksanaan penyiaran digital berlangsung setelah dua tahun UU itu diundangkan. Lebih tepatnya UU Ciptakerja pasal 72 angka 8 menyebutkan, Â migrasi penyiaran televisi analog ke teknologgi digital (ASO) Â harus diselesaikan paling lambat dua tahun sejak UU Ciptakerja berlaku.
Benar bahwa tepatnya  awal November tahun lalu sudah selesai, ini malah masih berjalan. Tetapi perlu dipahami, bagaimana polemik dan rumitnya penegakkan hukum termasuk juga implementasi dalam menerapkan hukum di Indonesia demikian pelik.
Penolakan atas nama rakyat, padahal sejatinya adalah elit yang merasa pndi-pundi keuntungannya tergerus. Padahal rakyat tidak dirugikan. Pemerintah melalui Kemenkominfo menyediakan set box untuk membantu pengadaan alat agar televisi lama bisa menerima siaran digital, bagi masyarakat miskin. Rakyat yang mana lagi coba yang disengsarakan.
Keberadaan televisi digital  malah sangat membantu, di  mana siaran bisa menjadi murah, sehingga bukan hanya kalangan tertentu, baca elit yang mampu memiliki stasiun televisi. Nah, masalahnya adalah, pemilik stasiun televisi selama ini telah menaguk banyak keuntungan dengan iklan yang mereka kuasai.
Intinya kue iklan yang kini bisa terbagi-bagi dan menjadi murah. Dulu kan hanya mereka yang bisa melayani iklan sehingga menjanjikan ketenaran dan pembelian yang sangat besar, mereka mematok tarif tinggi untuk itu.
Nah, ketika stasiun televisi menjadi lebih murah, potensi permainan harga tinggi iklan ini potensi rontok. Â Intinya adalah, ini bukan rakyat dan kepentingan masyarakat yang sejatinya dibela.
Negara tidak kalah dan latah untuk memberikan prioritas pada elit. Inilah peran penting pemerintah untuk hadir dan melayani seluruh warganya. Selama ini hanya elit yang menguasai periuk besar negeri ini. Masyarakat hanya menjadi penonton dan mendapatkan sebatas cipratan semata.
Ketika negara tidak takut pada kepentingan pihak-pihak tertentu dan demi kesejahteraan bersama, inilah pentingnya keberadaan pemerintah. Hadir dan menjaga keadilan itu ada. Selama ini  pemerintah cenderung melayani elit dan kalangannya sendiri.
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H