Pengalaman dua kali pilpres dan sekali pilkada sudah saatnya berhenti dengan model politik identitas dan menyerang secara pribadi, personal para kandidat. Fitnah, ujaran kebencian, dan berita bohong itu mendominasi dalam tiga gelaran pesta demokrasi yang sudah terjadi.
Masyarakat perlu dibina dan dididik menjadi lebih baik  dan bermutu. Pun elit terutama parpol juga kudu bersikap yang sama. Miris, karena lebih sering yang menebarkan kebencian, hoaks itu para tokoh yang memiliki pengikut banyak.
Mereka ini, para tokoh yang memiliki pendengar dan pengikut yang harusnya mendapatkan pembinaan lebih dahulu. Warga itu ikut-ikutan.
Tokoh agama, tokoh publik bisa menjadi agen untuk memberikan warna, bagaimana demokrasi kita itu akan menjadi seperti apa. Jika mereka yang mendominasi adalah barisan sakit hati, kelompok oposan nirprestasi namun merasa berjasa, ruang digital kita akan bising namun minim esensi dan prestasi.
Apa yang ada dalam benak, capaian mereka yang minim akan menyeruak dan membuat gaduh ruang publik digital, karena mereka ini merasa terlindung di balik tirai yang bernama dunia maya. Padahal mau maya, digital, atau fakta real hidup nyata, harusnya sama.
Pemilu yang bermutu perlu juga pemilih berkualitas, kandidat yang berkelas. Layak diupayakan.
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H