Pembiaran Kebodohan dan Memberikan Pencerahan Belajar dari Buya Syafei
Sering kisah inspiratif menuliskan cerita ini, singa sebagai raja hutan menghakimi macan dan keledai yang bertikai soal warna rumput. Keledai bersikukuh  warna rumput itu biru. Padahal macan juga sama bersikerasnya mengatakan jika rumput itu hijau
Berdebat tanpa ujung pangkal, mereka memutuskan untuk ke raja hutan, singa sebagai penengah. Di dekat singa, si keledai sudah meneriakkan kalua rumput itu biru. Si raja terusik dengan teriakan itu dan mengiyakan saja.
Singa menghukum macan untuk diam selama lima tahun. Hening, merenung, dan tidak perlu bersuara. Macan dengan kebingunan menerima hukuman itu. Sebelum pergi ia menyempatkan diri bertanya pada si raja mengapa dihukum? Jelas-jelas rumput itu hijau.
Singa selaku raja mengatakan, aku menghukum kebodohanmu yang eyel-eyelan dengan keledai yang memang terkenal bodoh dan keras kepala. Hukuman itu bukan soal rumput itu hijau atau biru.
Kisah yang sedikit berbeda versi mengisahkan mengenai dua murid pintar dan bodoh dengan guru yang menjadi penengah. Kedua murid bersitegang karena soal perhitungan. Si bodoh mengatakan jika 11 x 11 itu 111. Murid yang benar mengatakan jika hasilnya 121. Â Tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.
Mereka menghadap si guru. Mendengar perselisihan mereka, sang guru menghukum murid yang pintar . Hukuman itu untuk mengajarkan kebijaksanaan.
Pesan moralnya sama, buat apa berteriak-teriak, bertikai, dan  berselisih paham dengan orang yang bodoh, merasa diri benar, dan ebih dari yang lain. Menghabiskan energi, tenaga, dan juga waktu. Tidak akan ada titik temu.
Berangkat dari kisah tersebuh, menyaksikan fenomena perpolitikan negeri ini, dan media social. Almarhum Buya Syafii mengatakan, media social hari ini, konteks 2019, masih juga relevam sekarang, dikuasai orang tidak waras dan sumbu pendek.
Beiau mengatakan, orang waras harus bersuara, jangan diam. Kuasai media social demi meredam orang tidak waras dan sumbu pendek menebarkan hoax.
Apakah ada pertentangan antara kisah inspiratif di atas dan pernyataan Buya Syafei?
Sama sekali tidak. Mengapa?
Kisah-kisah di atas adalah konteks personal, privat, bukan ruang public seperti media dan media social. Begitu banyak dampak yang berimpilkasi jika di media social disikapi dengan model si guru atau singa tersebut. Ruang kendali yang berbeda.
Pengajaran pada keledai atau si murid bodoh itu masih mampu dijalankan. Lain dengan  ruang public yang sangat massif gaungnya.
Media social, literasinya rendah, dan memang ada kepentingan yang menggaungkan, bisa ke mana-mana dampaknya, jika si waras itu tidak bersikap. Membiarkan kejahatan merajalela dengan hoax, pemotongan data, atau  pemutarbalikan fakta.
Almarhum Buya Syafei sudah menyebut pihak-pihak itu tidak waras dan sumbu pendek. Artinya sangat krusial, harus segera ditanggulangi, bukan dibiarkan sebagaimana si murid atau keledai di atas. Mereka, contoh ilustrasi itu kontesnya adalah waras namun keras kepala.
Kesadaran. Perlu kesadaran si macan, sip inter, dan juga dari guru atau singa. Mereka sadar bahwa mempersoalkan berlebihan hal itu sia-sia. Dampaknya hanya pada dua pribadi itu, berbeda dengan tampilan di media social. Bagaimana mereka membagikan itu dengan begitu cepat, padahal itu adalah hoak.
Ujung-ujungnya meminta maaf, padahal sudah demikian banyak yang terkena tipu daya dan mereka percaya. Ujungnya bisa sangat jauh dan dampak perbaikannya sama sekali tidak terasa. Hal inilah yang membedakan.
Ada istilah bahwa orang jatuh cinta, penggemar bola, dan pendukung politik itu sudah seperti orang yang tidak bisa diberi tahu. Literasi bukan hanya memberi tahu pada yang bersangkutan, si keledai atau murid bodoh, namun bagaimana public perlu paham dan tahu keadaan yang sesungguhnya.
Sepakat dengan almarhum Buya Syafii bagaimana ruang public, media social dipenuhi orang tidak waras dan sumbu pendek. Ngamukan, merasa diri benar, intimidatif, dan tidak mau tahu apapun selain yang sudah ia Yakini. Pathok bangkrong yang kudu dikikis, apalagi jika mereka juga memaksakan kehendak orang kudu sama dengan mereka.
Memberi pengaruh, menghasut, memfitnah, dan juga memaksakan kehendak. Konteks ilustrasi di atas si murid dan keledai tidak menghasut, menyebarkan pemahamannya, apalagi memaksakan bahwa paham, pengetahuan, dan keyakinannyalah yang benar.
Kunci yang membedakan dengan kisah inspiratif dan warisan Buya Syafie adalah ini. Dampak  dan pengaruh media social yang demikian cepat, massif, dan tanpa filter. Bisa dibayangkan bagaimana jika pendapat rumput itu biru adalah kebenaran, misalnya itu adalah seorang guru, yang mengajar, dan tampaknya ada gejala demikian.
Guru yang memaksakan ideologi beragama, atau afiliasi politiknya, identic dengan si keledai namun memberikan pengaruh, paksaan pada pihak lain, muridnya paling tidak.
Intimidasi, mengancam, bahkan mengatakan bahwa liyan, yang berbeda itu musuh itu sudah tidak lagi perlu diberi sikap ala si guru dan singa, namun sikap tegas, pemahaman yang utuh, benar, dan sejalan dengan konstitusi.
Terima kasih Buya atas nasihat, warisan, dan pesan pentingnya. Pihak yang waras harus berbuat.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
 Â
Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H