Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keliru Pikir Resesi Seks

20 Desember 2022   12:24 Diperbarui: 20 Desember 2022   12:37 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relasi intim: Kompas.com

Gagal Fokus Resesi Seks  

Tema resesi seks sejatinya ada beberapa kekeliruan berfikir. Membaca dasar argumen mencetuskan tema ini, memang seolah-olah benar, namun jika ditilik lebih dalam pemilihan kata seks itu apakah benar dan sahih secara faktual.

Beberapa alasan dasar berpikir saya adalah sebagai berikut;

Beberapa bulan lalu, bincang-bincang bareng anak post SMA, dan mahasiswa, mengaku bahwa mereka kecanduan aktivitas seksual, ingat bukan kecanduan seks, karena seks itu jenis kelamin lho ya. Mereka aktif sejak SMP. Ada yang sejenis, ada yang hetero.

Di antara mereka berkisah, memiliki kekasih, yang dijaga betul untuk tidak "merusak" kevirginitasannya, namun juga memiliki beberapa rekan lawan jenis yang bisa untuk bersenang-senang bersama. Ingat , bersenang-senang ini dalam konteks tentu saja berhubungan badan.

Beberapa minggu  lalu, mendampingi anak-anak sekolah dasar, dan keprihatinan guru dan pihak sekolah adalah, beberapa di antara mereka menyimpan video porno. Dalam sesi bincang bareng, malah jauh lebih banyak di antara mereka yang sudah biasa berbagi link, menonton, mencari video porno.

Mereka mengaku dihajar orang tuanya dengan sapu, kemoceng, dan seterusnya. Beda generasi dalam memahami, dan itu wajar. Tetapi ini anak SD lho. Mungkin generasi kelahiran 70-80-an ke bawah akan ternganga-nganga, mereka bisa jadi sudah berkeluarga saja masih binggung mau hubungan badan.

Ada rekan guru yang berkisah, jika    muridnya, SMA mengatakan, lebih suka berhubungan badan dengan om-om demi mendapatkan kebutuhan yang diingankan, seperti baju, smartphone, atau sekadar makan. Berbeda dengan pacarnya, yang diasumsikan sebaya, hanya dapat enaknya, tanpa memperoleh yang lain-lain. Lihat, betapa mereka  memaknai seksual-seks seperti itu.

Beberapa waktu lalu juga dilaporkan betapa banyak pengasuh sekolah berasrama, ingat ini soal seksual bukan agama, cuk... yang terkena jerat hukum karena menyetubuhi murid-muridnya, ingat, artinya aktivitas seksual masih sangat aktif.

Benar, bahwa banyak pasangan muda, yang memutuskan hanya memiliki anak sedikit, satu saja sudah sangat berat diongkos untuk masa depan mereka. Tetapi, di daerah-daerah, masih banyak juga pemikiran banyak anak banyak rezeki. Belum sepenuhnya hingga 10-20 tahun ke depan akan menjadikan resesi anak-anak, bukan seks di Indonesia.

Ingat, jauh lebih gede penduduk di pinggiran dari pada yang perkotaan. Artinya, pola pikir itu belum akan melanda secara masif di berbagai daerah di negeri ini.

Usia pernikahan yang meningkat, jauh lebih tua dari beberapa tahun lalu. Ini juga sedikit banyak bisa dipatahkan.  Amatan saya, malah mulai turun lagi, usia pernikahan jauh lebih muda dari pada masa-masa 90-an atau awal 2000. Lulus SMA kerja pabrik, menikah dengan rekan kerja mereka. UMR saja sudah cukup bagi model yang berpikiran sederhana ini. Asumsi pribadi, pengalaman di lingkungan sih.

Masih ramai perbincangan, bahkan iklan tawaran kelas seminar poligami. Nah, apa iya mereka ini tidak ngapa-ngapain, memiliki bini sampai empat? Gak percaya lah.

Pernyataan resesi seks perlu dikoreksi. Jika resesi keluarga dan keturunan masih juga perlu diperdebatkan. Masih terlalu jauh jika bicara sebagaimana Jepang, Korea, atau Singapura. Hiburan anak negeri ini masih seputar perkelaminan.

Ingat, bagaimana heboh UU KUHP yang baru. Kontroversinya juga soal   persetubuhan. Mosok hal yang masih menjadi fokus pembicaraan dan juga diatur sedemikian detail itu adalah resesi?? Tidak yakin.

Jepang itu industri pornografinya sangat tinggi. Benar, mereka resesi anak, namun bukan resesi seks. Mereka menempatkan seksual dan perkelaminan itu pada ranah privat, bukan soal susila. Tidak akan ada kehebohan di sana, ketika ada porstitusi.

Di sini lokalisasi pada ditutup. Padahal via aplikasi malah menjamur.  Mosok   gak dengar ada polisi muda mati ditusuk karena pesanan layakan seksual onlinenya dibatalkan. Siapa tidak mangkel, ketika photo profilnya jauh dari keadaan aslinya. Eh si penjual jasa marah dan  menusuk si  calon konsumennya.

Ini asli,  faktual, dan ada di mana-mana. Seolah-olah paling moralis, mengatur perkelaminan dalam pasal-pasal hukum positif, tapi di mana-mana masih marak persoalan kekerasan seksual. Belum lagi anggota dewan yang ketahuan menonton film porno ketika sidang. Ingat, ini bukan soal menonton film pornonya, namun waktu menonton, dan teriakan-teriakan moralis dari kolega mereka satu partai yang tidak sejalan.

Apakah resesi seks akan terjadi di Indonesia? Masih terlalu jauh. Apalagi masih  banyak   anggapan bahwa hubungan badan, hubungan seksual itu termasuk pada bagian dari ibadah. Mendapatkan pahala. Lihat saja ada seorang tokoh agama yang menyarankan istri mengajak suaminya bersetubuh 17 kali sehari. Kapan kerjanya coba.

Jika resesi anak, masih sangat mungkin. Belum dalam waktu dekat juga akan terjadi di Indonesia. Masih terlalu elitis yang memahami anak itu perlu investasi besar untuk sekolah, kesehatan, dan kebahagiaan mereka.

Masih pada kalangan tertentu dan  cenderung elitis, pekerja yang perlu berhitung soal waktu, beaya, dan perhatian yang sangat sulit. Padahal masih banyak yang yakin dengan slogan banyak anak banyak rezeki, anak membawa rezeki sendiri, Tuhan mengatur, kita menjalani. Belum lagi yang mengaitkan hubungan badan sebagai bagian dari ibadah.

Kesadaran diri bahwa berpotensi membawa dampak buruk, kepribadian toksik juga masih banyak yang kurang. Pribadi penyuka kekerasan, belum selesai dengan dirinya, toh banyak yang menikah, dan kemudian bubar. Apakah mereka resesi seks? Jelas tidak. Malah punya anak dan melahirkan generasi toksik yang lebih berat.

Masih terlalu jauh mengenai kesadaran soal kesehatan jiwa. Merasa diri baik-baik saja, malah banyak yang merasa diri paling benar, padahal aslinya juga tidak  sehat. Model demikian, dalam mendidik juga asal tradisi, mengekor dari orang tua mereka.

Memang sangat seksi ketika kata seks yang mengikuti  resesi dari pada keluarga atau anak. Resesi anak pasti sepi penulis atau pembaca. Ini soal bisnis.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun