Tenda Cianjur dan Tabiat Negeri ini
PolemikPagi ini, kami di grup percakapan penulis Kompasiana berbicara mengenai polemik tenda bantuan. Leih baru, ada lembaga yang menghentikan  sumbangannya karena banyak pungutan dan tindak tidak patut dalam menyikapi bantuan.
Media sosial sudah sangat panas pro dan kontra dan juga dalih, pembenaran diri, mekanisme pertahanan yang makin kacau. Itu juga dilakukan oleh pejabat-pejabat di sana. Apakah ini pertama kalinya?
Seorang rekan mengatakan, menanggapi baru kali ini bantuan kog dipersoalkan agama atau identitasnya. Pengalaman saya, 2006 lalu, ketika menjadi relawan dari gereja memberikan gambaran seperti ini.
Gereja Katolik di daerah Klaten sebagai pusat komando dari Keuskupan, ini adalah seperti provinsi gerejani, bantuan masuk ke sana, di salurkan kepada siapa saja yang meminta. Saya ikut dalam tim pendirian tenda untuk umat Gereja setempat yang terdampak. Jelas untuk kalangan sendiri. Tenda itu tarikan dari daerah yang terlebih dulu terkena bencana, ada juga yang baru.
Tim lain mendata rumah umat yang terdampak dalam beberapa klasifikasi. Lagi-lagi ini adalah bantuan untuk intern warga sendiri. Apakah ini egoisme beragama? Jelas tidak, namun ada pernyataan provokatif dari relawan parpol. Partai apa gampang ditebak, yang mainin identitas siap.
Eh malah pagi-pagi baca postingan seorang profesor, kalau partai ini mengambil bantuan satu mobil penuh dari gereja dan sekeluarnya dari kawasan itu, belum jauh, mobilnya ditempelin label mereka. Apa yang terjadi? label itu yang main mereka, yang teriak mereka. Gampang bukan menebak siapa di balik itu?
Relawan partai itu mengatakan, kalau bantuan dari gereja itu bermuatan kepentingan, nanti disuruh jadi Kresten. Mereka padahal omong dengan relawan dari gereja, dan tanpa panas-panasan dijawab saja, bahwa mereka itu relawan gereja. Diam dan tidak banyak ribut. Â Â Â
Sebuah postingan juga mengatakan, jika banyaknya pungli. Ini lagi-lagi pengalaman dalam membantu gempa Klaten, rekan-rekan dalam perjalanan mengirim tenda berkisah, kalau mereka bertanya di mana rumah si X, akan dijelaskan dengan sangat detail, kadang kami geli ketika nanti ketemu rumah biru, belok saja kanan itu tempatnya. Padahal semua sudah rata dengan tanah. Mana ada rumah biru. Mereka menunjukkan dengan jelas, tanpa minta uang.
Di tempat lain, pertanyaan yang sama akan dibalas dengan minta uang atau upah apapun bentuknya, dan belum tentu benar yang dituju. Itu faktual. Ini sikap mental.
Pejabat Cari Aman
Miris, ketika para pejabat juga bersikap ambigu, menggunakan standart ganda, contoh, menyobek label salah, namun mbok jangan pakai label kalau membantu. Ini pejabat itu pamong, pengayom semua pihak, bukan malah memberikan angin pad pihak pelaku kejahatan.
Sama juga ketika ada korban perkosaan dengan menyalahkan pakaian, si perempuan yang menggoda, ikut menikmati, dan seterusnya. Kejahatan ya jahat, tidak malah menjadikan korban malah sebagai pelaku. Ini bangsat.
Mengapa ada lebel?
Pertama, identitas ketika bencana selesai barang itu diitarik jelas siapa yang memiliki dan siapa yang bertanggung jawab. Memperlihatkan bagaimana manajemen selesai kejadian tidak pernah ada evaluasi dan cek dan ricek. Selesai bubar dan nanti pengadaan lagi. Sangat mungkin barang itu masih bisa dipakai lagi.
Kedua, pertanggungjawaban kepada donatur. Pembelian barang ini disalurkan kepada siapa, di mana, transparansi atas penggunaan anggaran. Memperlihatkan banyaknya pengelolaan bantuan yang ngasal. Baru saja heboh bukan lembaga sosial ternyata untuk gaya hidup  bos-bosnya?
Ketiga, asumtif, dengan label gede-gede yang biasa menggunakan photo abal-abal kesulitan mendokumentasikan acara boongan mereka. Apakah pernah berpikir demikian para pejabat itu? Atau malah ikut terlibat dan merasa jengkel, asemik ra isa nyolong ki? Ups ....
Keempat, dengan label sejatinya jauh lebih mudah untuk melakukan koordinasi, jika sekiranya bantuan itu rusak, malah mengganggu, atau ada yang tidak semestinya, dimintai pertanggungjawaban, jika mikirnya positif dan baik-baik saja.
Kelima, ini bukan soal agama, namun soal sentimen dan bentu provokasi pihak-pihak tertentu. Mengapa pejabat yang sama tidak mencopotin label bantuan dari parpol atau ormas yang lain?? standart ganda bukan?
Sepanjang selalu mendua, munafik, dan tidak tegas melihat kejahatan versus kebenaran dengan jelas, cerdas, dan tegas, ya akan begini-begini saja. Di semua lini penyelesaian pasti nanggung. Korban jadi pelaku dan pelaku merajalela dan memelas menjadikan dirinya korban, playing victim.
Miris, ketika pejabat yang hanya mengamankan jabatan dan pangkat saja, dan kalah dengan perilaku keburukan di mana-mana, apalagi dibalut dengan agama. Pelakunya itu-itu saja, dalihnya juga lemah, karena toh banyak yang seagama juga mengecam kog.
Provokasi model demikian itu harus dihentikan, ini negeri Pancasila. Jangan malah memutarbalikkan fakta di mana yang benar jadi salah, yang keliru malah benar, korban dipersekusi dan pelaku menjadi jagoan dan berteriak-teriak seolah pahlawan.
Negara ini negara Pancasila, besar, dan mulai diakui dunia, jangan malah dirusak oleh perilaku bar-bar menggunakan dalil agama yang tidak umum sebenarnya. Pembiaran yang   memang ada yang memanfaatkan, politikus minim prestasi.
Terima Kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H