Hari Guru: Kompas.com
[Kisah Nyata] Kekecewaan Seorang Guru
Mendengar kisah kecewanya seorang guru berbulan lalu, momen yang tepat untuk menuangkan dalam sebuah tulisan. Tentu tak hendak membuat kelabunya Hari Guru, namun itu sungguh terjadi. bagaimana si Ibu Guru yang menjelang pensiun malah menyaksikan dengan seluruh inderanya, mantan murid dan muridnya itu yang sangat tidak patut.
Seorang guru di sekolah dulu mengatakan, jika setan itu kadarnya masih belum seberapa karena ia tidak menularkan, mengajak orang lain untuk berbuat jahat. Berbeda dengan iblis, di mana ia mengajarkan perilaku buruk pada pihak lain. Kasusnya adalah, kakak kelas mengajak adik kelas merokok, di asrama yang memang tidak boleh merokok. Pantangan besar.
Ibu Guru yang mengabdi hampir 40 tahun dan memasuki purna di bulan mendatang ini layak sangat kecewa. Bagaimana ketika beliau mendampingi studi wisata, karena muridnya sedikit, akhirnya orang tua ikut serta. Â Sepanjang perjalanan orang tua ini duduk di bagian belakang, apa yang mereka lakukan?
Masa kerja hampir empat dasa warsa, berarti orang tua murid itu adalah juga murid beliau. Perjalanan mengajarnya memang tidak banyak berpindah. Muridnya  yang sekarang adalah anak-anak dari orang tua yang dulu adalah juga asuhan beliau.
Guru mengetahui anak didiknya jadi jenderal pasti senang. Pun mendengar ada yang kurang beruntung nasibnya pasti prihatin. Toh tidak kecewa, karena itu bukan kapasitas guru untuk bisa memberikan jaminan baik masa depan anak-anak didiknya.
Tahu bahwa murid atau bekas muridnya menjadi orang sukses, kalau lupa, pasti mereka tidak akan sedih, kecewa atau menyesal. Mengapa? Itu adalah tanggung jawab, kewajiban, dan sudah menjadi tugasnya. Tidak akan ada guru yang meminta balasan atas apa yang telah siswa-siswinya peroleh.
Ikut bangga, senang, dan tentu bahagia. Tidak sia-sia apa yang telah mereka lakukan. Upaya  dan kerja kerasnya berbuah manis pada anak-anak didiknya. Hal yang pastinya menjadi pengharapan seumur hidupnya.
Guru yang mengajar bersama mantan siswanya juga tentu saja banyak, mereka akan bersuka cita karenanya. Bekerja bersama-sama mencerdaskan anak-anak menuju masa depannya.
Kekecewaan Ibu itu layak karena mengapa? Para mantan muridnya itu bermain judi di dalam bis yang mengantar mereka. Tanpa merasa bersalah, di hadapan mantan guru, guru anaknya, dan juga di depan anak-anak mereka.
Malah ada anak yang bertanya, "Menang ra Pak?" [ menang tidak Pak?]
Judi, perlakuan tidak layak contoh seolah adalah perbuatan biasa saja. Seperti lari pagi, ngarit, atau menggembala kambing. Seolah tidak ada amoral, tidak bernilai moral di sana. Padahal itu tindakan immoral. Tindakan tidak baik, apalagi di hadapan anak-anak mereka sendiri.
Perilaku moral itu perlu keteladanan. Orang tua sebagai pendidik utama dan pertama yang memagang peran penting. Jauh lebih lama waktu anak bersama orang tua, dari pada dengan guru. Bekal pengetahuan lebih mengarah ke kognisi akan percuma jika tidak ada dukungan bagi anak-anak dari orang dewasa di rumah.
Masalah lebih mendalam dan kompleks lagi, ketika lingkungan juga abai akan persoalan moral ini. Mereka, masyarakat, aparat, termasuk penegak hukum terendah juga terlibat di sana. Main judi bareng, seolah itu perbuatan biasa. UU jelas mengatur  bahwa itu terlarang. Agama pun sama saja. Ketika dipahami sebagai hal yang tidak masalah, berarti ada persoalan di sana. Pemahaman yang keliru namun dianggap baik-baik saja.
Anak-anak  itu masih polos. Perlu pendampingan, pendidikan, itu tidak semata sekolah namun juga keteladanan. Memberikan contoh dengan kehidupan dan cara bermasyarakat yang normal.
Selamat Hari Guru untuk para Pahlawan Bangsa
Berkat melimpah atas perjuangan Anda semua
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H