Fredy Sambo Hingga Kini Masih "Membunuh"
Persidangan pertama pembunuhan Brigadir J sudah berlangsung. Publik masih was-was, jangan sampai persidangan ini sesuai dengan azas keadilan. Menghukum yang memang melakukan dan membebaskan bagi yang hanya karena takut atasan.
Brigadir J telah meninggal, dimakamkan, digali, dan dimakamkan lagi. Tentu ini menyayat hati dengan sembilu bagi keluarga. Pembunuhan terulang kala narasi di media simpang siur dan cenderung menghakimi korban yang sudah tidak bisa lagi membela diri. Pembunuhan episode dua terjadi.
Membaca berita kemarin, seorang AKBP tentu akan jerih nyalinya di hadapan  jenderal bintang dua, pemegang kendali atas perilaku para polisi. Suara bergetar mengatakan rekaman berbeda dengan skenario yang dinyatakan  FS dan ia dengar. Mana ada AKBP berani dengan bintang dua dan penuh kuasa. Hanya menunduk dan dibentak. Pembunuhan lagi, berapa anak-anak yang ikut menjadi korban?
Jenderal bintang satu pun hanya menepuk pundak pada anak buahnya untuk ikuti perintah atasannya. Membunuh satu lagi, beserta keluarga yang harus ia hidupi. Ini mungkin belum seberapa. Kekayaan bintang satu dan melati dua bisa diperkirakan. Anak-anak mereka juga sudah tidak begitu kehilangan secara materi.
Bayangkan ketika brigadir yang sehari-hari pasti hidup bareng dengan korban. Merokok, ngopi, atau minum bareng. Jalan pun bisa jadi sering bersama. Satu harus meregang nyawa di tangan kawannya itu. kemungkinan gede ia sudah berkeluarga, berapa banyak anak-anak dan istri yang harus menderita hanya karena kemarahan atasan.
Apapun alasannya, mau karena korban melecehkan bosnya, atau intrik yang lain. Toh FS sudah  membinasakan masa depan anak-anak yang masih butuh sosok ayah.  Pembunuhan yang tidak akan ada pasalnya di KUHP.
Muhamad Kace di  bui dihajar Napoleon Bonaparte, bisa  jadi si brigadir ini nantinya juga akan menjadi sansak oleh pihak-pihak yang merasa ikut tersakiti. Bagaimana anak istrinya jika mendengarkan keluh kesahnya. Belum lagi bicara penjara itu tidak gratis. Berbeda dengan perwira menengah, apalagi atas tentu saja.
Sebelum persidangan, pengacara Ferdy Sambo, eks jubir KPK mengatakan, kliennya tidak memerintahkan membunuh, hanya menghajar. Ini tentu saja mau berkelit bahwa tamtama pertama itu kesetanan dan membunuh atasan dan seniornya. Â Lagi-lagi membunuh bawahan paling lemah. mengapa?
Toh dalam rekonstruksi, narasi yang beredar, pihak FS yang berubah-ubah. Kesaksian AKBP menambahkan jika terdakwa satu ini bisa memutarbalikkan fakta. Lagi-lagi membunuh orang atau anak buah yang lemah. Demi selamat sendiri.
Bharada itu pangkat terendah di kepolisian dan militer. Sama-sama dua, namun hampir teratas, mana berani EE membantah, melihat bayangannya  saja sudah ngeri. Apalagi memfitnah. Jauh bisa diterima akal sehat ya bintang dua yang menekan kemudian memfitnah strip dua.
Bagaimana perasaan orang tuanya, kakak adiknya yang bangga kerabatnya jadi ajudan orang penting, eh malah berakhir di penjara. Bisa juga nanti berujung pada hukuman mati. Â Berapa nyawa yang melayang karena penderitaan tak terperi di kemudian hari, dan itu pasti tidak akan diberitakan dan menjadi perhatian publik.
Masih ada lulusan Akpol terbaik pada tahun lulusnya. Harus juga ikut menjadi korban. Ini juga termasuk membunuh negara. Kehilangan salah satu kader terbaik untuk bangsa dan negara. Berapa uang rakyat yang terbuang karena egoisme dan kemarahan sang jenderal.
Hakim yang mengadili pembunuhan Ade Sara menjatuhkan vonis penjara seumur hidup sampai mati di penjara. Menghukum dengan komulatif karena korban puteri tunggal. Â Harapan atas keturunan sudah pupus, dan hukumannya harus setimpal. Ini bukan balas dendam tentu saja. Keadilan.
Brigadir J berbahagialah di surga, sudah tidak perlu merasakan kejamnya atasan dan dunia. berbagaia dengan Sang Pencipta dan melihat drama-drama yang masih akan berlanjut. Â Nyawamu melayang, namun begitu banyak atasan dan kolegamu ikut menderita karena perbuatan atasan yang harusnya mengayomi kalian.
 Doakanglah jaksa menuntut   dengan pasal yang paling tepat dan berat. Pun hakim menjatuhkan pidana dengan sangat adil dan paling mewakili banyak korban-korban yang lain.  Masyarakat juga  berharap yang sama.
Ada nilai positif sih dengan kejadian ini. Media sosial demikian kuat memberikan tekanan, coba ini terjadi dua puluh tahun lalu. Si jenderal melenggang kangkung dengan angkuh, si tamtama, bintara, paling-paling perwira pertama dijadikan tumbal. Â Mengerikan.
Harapan terbaik untuk persidangan. Polisi sudah mau bebenah, menunggu pihak kehaminan melakukan yang sama. Â Menghukum siapapun pelakunya.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H