Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gatot Nurmantyo, Hantu Komunis, Sambo, dan Tim Mawar

20 September 2022   10:16 Diperbarui: 20 September 2022   10:47 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gatot dan Sambo (Foto: tribunnews.com)

Pertama. Isu yang basi, tidak laku, dan juga berkali ulang gagal tanpa respons yang cukup berarti. Malas, enggan, dan jelas merasa sia-sia. Melihat celah kasus Sambo yang demikian viral, tergoda untuk ikut berkomentar. Tetapi ternyata sangat biasa, bahkan memalukan.

Kedua, pola pikir itu dipengaruhi usia. Itu tidak bisa bohong. Apa yang dinyatakan Gatot Nurmantyo ini adalah zaman ia berkeduduk. Hal demikian sangat biasa terjadi. Nah sekarang   apa bisa? Ia tidak paham dunia digital, dunia internet yang akan dengan sangat mudah menjadikan hal yang bagi generasi Gatot Nurmantyo itu mudah menjadi susah.

Kemudahan dalam dunia digital itu juga dibarengi bahwa yang biasa pat gulipat akan kesulitan untuk melakukan hal yang sama. Maka generasi tua dan juga para pelaku yang biasa main gelap-gelapan enggan untuk mendukung transparansi, program digitalisasi dalam banyak hal.

Ketiga, 22 sepi dari isu komunis, harapannya si kedepannya juga makin sepi. Ini luka bangsa yang memang pernah terjadi, belum ada rekonsiliiasi, namun dimanfaatkan pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari sana.

Orba, terutama penguasa tunggalnya waktu itu mendapatkan untung banyak. Warga menjadi takut, semua menjadi kelam, ketika ada cap PKI di mana-mana. Masa depan habis, punah, dan merana. Kecemasan, ketakutan, dan juga momok yang sangat mengerikan itu kog menjadi bahan lagi. Mbok sudah akhiri saja.

Jauh lebih bermartabat ketika berani mengajak semua untuk duduk bersama dan mengakui adanya kisah kelam itu dan saling mengampuni. Selama ini masing-masing merasa menjadi korban.    Padahal banyak pihak juga melakukan aksi kekerasan, meskipun juga menjadi korban.

Keempat. Menumpang kisah dan drama viral, sok kritis, namun abai dengan fenomena yang lainnya. sekelas jenderal namun menampilkan diri seperti katak dalam tempurung. Isu komunis yang diulang-ulang seperti kaset bundet, kini ikutan mengomentari Sambo namun lupa realitas keadaan jauh berbeda.

Kelima. Merasa layak jadi presiden, namun kapasitas itu sama sekali tidak kelihatan dalam banyak segi. Kinerja sebagai militer biasa saja. Tanpa hal yang luar biasa ditorehkan. Gagasan usai jadi panglima juga sama saja.

Lha kalau PKI atau komunis masih eksis ya tunjukkan saja nama atau tempat  di mana mereka melakukan aksi, rapat, atau diskusi. Lha itu HTI di mana-mana masih nongol dalam dema-demo saja dia diam. Apalagi yang memang tidak pernah ada apapun, namun seolah eksis.

Keenam. Menggunakan nama KAMI. Ini juga jadul. Karena sukses di masa 65, dan digelorakan terus era Soeharto seolah-olah di tangannya juga akan menjadi "pahlawan", lha malah menjadi tertawaan publik. Ini juga kegagalan dari visinya sendiri. Mereka berkumpul barisan orang-orang yang abai untuk menepi dan menjadi pendukung bagi generasi berikutnya.

Sikap tahu diri, tahu batas, mengerti kemampuan, isa rumangsa bukan malah sebaliknya rumangsa isa. Merasa mampu, bukan mampu merasa. Hal yang diabaikan mantan Panglima TNI ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun