Kala Jokowi Mengajarkan Falsafah Politiknya pada Karni Ilyas
Sangat menarik melihat tayangan wawancara wartawan senior Karni Ilyas pada Presiden Jokowi. Semua tentu paham, bagaimana laku bernarasi wartawan top dari media televisi yang sering berperan oposan itu. Nah, bagus kala pertanyaan dan jawaban yang Presiden Jokowi itu tidak muluk-muluk, bertele-tele, namun si pewawancara tidak lagi bisa mengembangkan pertanyaan lanjutan yang memojokkan.
Tentu saja pewawancara itu sudah  mengirimkan daftar pertanyaan, tetapi toh dalam acara yang sesungguhnya bisa jadi melebar ke mana-mana, sesuai dengan jawaban dan kepentingan tentunya. Nah, toh publik sudah paham seperti apa Karni Ilyas dan juga acara yang ia gawangi selama ini. Jauh dari  sekadar mendukung apapun kebijakan pemerintah. Malah lebih cenderung menjadi corong untuk menjadikan apa yang pemerintah lakukan sekadar olok-olok.
Terutama ILC dan TVOne, panggung pagi para kaum nyinyir dengan bahasa bagi mereka adalah kritik. Padahal beda jauh. Wong faktanya apa yang mereka bicarakan itu selalu sisi negatif bukan sebuah sarana untuk membangun dan mendidik penonton untuk bisa bersikap wajar, adil, dan obyektif.
Benar bahwa kritik tidak harus memiliki solusi, namun bukan juga terus waton sulaya, asal berbeda dan pokok apapun yang pemerintah ambil mereka akan balik keadaan. Dalam acara itu juga hanya yang kontra pemerintah dan Jokowi saja yang diundang. Â Lebih lucu lagi apapun temanya, yang membahas ya itu-itu saja. Aneh dan menjadi naif sebenarnya, ketika bicara media, namun sudah sama sekali tidak berimbang.
Benar namanya dunia tidak bisa ideal, namun kan paling tidak masih ada perimbangan. Lepas kepentingan juga tidak akan bisa. Tapi tamu atau nara sumbernya yang sepadan dan berimbang lebih dulu. Selama ini sela jumlah narasumber cenderung timpang. Tentu saja menjadi aneh dan lucu, apa yang mau dibangun dengan model demikian?
Apa yang Presiden Jokowi nyatakan dan kemudian dijadikan tayangan di media sosial memberikan pembelajaran pada publik mengenai demokrasi yang dipahami secara berbeda ala Karni Ilyas dan kawan-kawan dan yang sudah Jokowi dan seharusnya adalah demikian jalani.
Dua hal yang menjadi pokok penting, pertama mengenai kebebasan berpendapat sebagai pernyataan Karni Ilyas. Jawaban Jokowi sangat lugas, bagaimana mempertanyakan kebebasan berpendapat, sedangkan caci maki, presiden didungiu-dungukan hampir setiap hari terjadi dan tidak menjadikan pelaku masuk bui. Kurang bebas apa lagi?
Kedua, mengenai presiden tiga periode. Jokowi tidak masuk pada polemik mau atau tidak, soal tiga periode namun malah membalikan dengan pernyataan, kalau pihak lain menuntut mundur setiap hari boleh, mengapa wacana dan narasi tiga periode dilarang?
Apa yang terjadi memberikan pembelajaran bersama,
Laku ugal-ugalan atas nama demokrasi karena elit sakit hati kalah dalam pilpres dan susah untuk melakukan apa yang telah menjadi  kebiasaan masa lalu, di mana pesta pora kekayaan negara untuk diri dan kelompoknya. Mereka inilah yang ngompor-ngomporin keadaan.
Arus bawah ikut-ikutan dan menjadi agen dan kepenjangan tangan elit yang gege mangsa untuk kembali berkuasa. Lihat saja  demo buruh toh ujungnya juga Jokowi turun.
Berdemokrasi maunya menang, tidak mau kalah dan mau tahu bahwa pemilih percaya pada pihak  rival. Mereka inilah politikus waton sulaya dan tidak mau  tahu sudah kalah.  Mereka ini memprovokasi masyarakat yang lemah literasinya.
Politik identitas yang memang menyasar kelompok ini. Mereka memanfaatkan massa yang lemah pemahaman dan gila agama. Membakar mereka jelas sangat menguntungkan.
Politikus kebencian. Berbeda itu normal, namun ketika mencaci maki dan bahkan memutarbalikkan fakta demi hasrat memuaskan kejengkelan, kemarahan, dan juga akhirnya kebencian itu merusak bangsa. Â Sejatinya tidak banyak, hanya saja tergaungkan oleh perilaku mereka dan para pengikutnya.
Jokowi pernah mengatakan, mengalahlah sampai orang tidak bisa lagi mengalahkannya. Â Konsep yang sudah dilakukan dengan tepat, berhadapan dengan Karni Ilyas yang mau memojokkan mengenai kebebasan berpendapat dan juga presiden tiga periode.
Hal yang sangat basi namun jelas mau dipaksakan, lagi-lagi karena konsepnya sangat asumtif bahwa mau menjegal bukan mau memberikan pencerahan pada publik. Pembelajaran apik untuk hidup bersama di negara ini.
Demokrasi itu perlu kedewasaan dan juga kemampuan untuk berani berbeda pendapat, berbeda dalam jalan pilihan, pada sisi lain negeri ini tidak mampu berbuat demikian. Malah  cenderung memaksakan kehendak untuk sama dalam banyak hal. Artinya demokrasi setengah hati.
Perlu banyak lagi pribadi-pribadi yang berlaku dan memiliki karakter seperti Jokowi untuk Indonesia yang lebih kuat, maju, dan besar. Asli produk demokrasi, dari bukan siapa-siapa menjadi walikota, gubernur, dan presiden. Model ini  mana bisa era dulu?
Namun di balik itu ternyata elit tidak suka. Hal yang mereka kuasai dan bagi-bagi selama ini diporakporandakan oleh si cungkring dan dungu kata para oposan dan barisan sakit hati.
Pembelajaran penting bagi bangsa dan negara yang sudah menginjak 77 tahun, bagaimana berani berbeda itu yang sikap yang sama ketika tanggapannya berbeda. Miris ketika maunya mengritik, dirinya sendiri  antiperbedaan.
Pelaku yang gembar-gembor atas nama demokrasi namun mengangkangin demokrasi. Lihat itu kebebesan berpendapat namun tidak mau mempertanggungjawabkan ketika melanggar UU. Munafik.
Pelajaran penting bagi Karni Ilyas yang biasa sepanggung dengan para penggaung kebencian mendapatkan jawaban yang menohok dan tidak bisa apa-apa. Belajarlah lebih  jauh sehingga bisa lebih memiliki keluasan berpikir.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H