Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kala Jokowi Mengajarkan Falsafah Berpolitik pada Karni Ilyas

25 Agustus 2022   13:03 Diperbarui: 25 Agustus 2022   13:09 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi-Karni Ilyas: Tribunnews.com

Laku ugal-ugalan atas nama demokrasi karena elit sakit hati kalah dalam pilpres dan susah untuk melakukan apa yang telah menjadi  kebiasaan masa lalu, di mana pesta pora kekayaan negara untuk diri dan kelompoknya. Mereka inilah yang ngompor-ngomporin keadaan.

Arus bawah ikut-ikutan dan menjadi agen dan kepenjangan tangan elit yang gege mangsa untuk kembali berkuasa. Lihat saja  demo buruh toh ujungnya juga Jokowi turun.

Berdemokrasi maunya menang, tidak mau kalah dan mau tahu bahwa pemilih percaya pada pihak  rival. Mereka inilah politikus waton sulaya dan tidak mau  tahu sudah kalah.  Mereka ini memprovokasi masyarakat yang lemah literasinya.

Politik identitas yang memang menyasar kelompok ini. Mereka memanfaatkan massa yang lemah pemahaman dan gila agama. Membakar mereka jelas sangat menguntungkan.

Politikus kebencian. Berbeda itu normal, namun ketika mencaci maki dan bahkan memutarbalikkan fakta demi hasrat memuaskan kejengkelan, kemarahan, dan juga akhirnya kebencian itu merusak bangsa.  Sejatinya tidak banyak, hanya saja tergaungkan oleh perilaku mereka dan para pengikutnya.

Jokowi pernah mengatakan, mengalahlah sampai orang tidak bisa lagi mengalahkannya.  Konsep yang sudah dilakukan dengan tepat, berhadapan dengan Karni Ilyas yang mau memojokkan mengenai kebebasan berpendapat dan juga presiden tiga periode.

Hal yang sangat basi namun jelas mau dipaksakan, lagi-lagi karena konsepnya sangat asumtif bahwa mau menjegal bukan mau memberikan pencerahan pada publik. Pembelajaran apik untuk hidup bersama di negara ini.

Demokrasi itu perlu kedewasaan dan juga kemampuan untuk berani berbeda pendapat, berbeda dalam jalan pilihan, pada sisi lain negeri ini tidak mampu berbuat demikian. Malah   cenderung memaksakan kehendak untuk sama dalam banyak hal. Artinya demokrasi setengah hati.

Perlu banyak lagi pribadi-pribadi yang berlaku dan memiliki karakter seperti Jokowi untuk Indonesia yang lebih kuat, maju, dan besar. Asli produk demokrasi, dari bukan siapa-siapa menjadi walikota, gubernur, dan presiden. Model ini  mana bisa era dulu?

Namun di balik itu ternyata elit tidak suka. Hal yang mereka kuasai dan bagi-bagi selama ini diporakporandakan oleh si cungkring dan dungu kata para oposan dan barisan sakit hati.

Pembelajaran penting bagi bangsa dan negara yang sudah menginjak 77 tahun, bagaimana berani berbeda itu yang sikap yang sama ketika tanggapannya berbeda. Miris ketika maunya mengritik, dirinya sendiri  antiperbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun