Peradilan Bebas Intervensi, Bukan Tekanan Publik dan Netizen
SPI danBeberapa hari terakhir, dunia pemberitaan Indonesia diwarnai oleh tarik ulur mengenai penegakan hukum. Ada kasus Roy Suryo, Holywings, dan tidak cukup mendapatkan perhatian mengenai dugaan kekerasan di sekolah bernama SPI.
Ada  hal-hal yang menarik, ketika perlakuan hukum atas ketiga kasus ini sangat berbeda. Holywings begitu sigap dengan menjadikan enam orang tersangka. Hanya hitungan jam usai laporan. Padahal tidak cukup panas dan keras juga pemberitaan.  Polisi sangat cepat, tanpa bertele-tele. Tanpa drama memanggil ahli segala.
Kasus Roy Suryo polisi begitu hati-hati, atau kasarnya lelet, ketika mengusut dugaan penistaan repost meme  stupa Budha dengan wajah mirip Presiden Jokowi. Begitu banyak istilah yang dipakai untuk "memperhalus" masalah, dugaan, mirip Presiden Jokowi, dan narasi bahwa ia hanya menayangkan ulang.
Menggunakan pembelaan dari "tokoh" Budha dadakan, karena rekam jejaknya membuktikan sebaliknya bahwa ia adalah tokoh agama tersebut. Polisi juga berargumen sedang mengundang ahli segala. Apa yang terjadi adalah sebuah "upaya mengulur-ulur" dan berharap publik lupa. Ingat ingatan bangsa ini sangat pendek. Banyak kasus dan fenomena tidak ada penyelesaiannya dan diam saja.
Sistem bernegara Republik Indonesia itu konon trias politika, di mana kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legeslatif itu terpisah satu sama lain. Tidak boleh   ada intervensi, terutama untuk yudikatif. Apakah benar demikian?
Beberapa kasus terlihat tekanan massa, publik, dan netizen bisa mengubah keadaan 1800 .   Paling fenomenal jelas kasus Ahok.   Toh kasus-kasus lain juga terjadi, hanya tidak sejelas dan setenar Ahok. Bagaimana peradilan di Tanjung  Balai, kala ibu-ibu dipidana dan rumahnya dibakar karena mengeluhkan suara toa.
Padahal masalah toa di mana-mana ada. Orang jamaah di rumah ibadahnya sendiri saja protes ke pengurus dan tidak menjadi masalah. Apanya yang  dinistakan, ketika telinga orang berbeda-beda menoleransi suara dan kerasnya bunyi yang keluar.
Kembali ke masalah Holywings, Roy Suryo yang begitu dinamis, ada lamban dan super cepat. Publik juga perlu ingat, bagaimana laku, cara bermedia ala Waloni, Rocky Gerung, Fadli Zon, Rizieq Shihab, dan juga Abdul Somad. Apakah mereka tidak merendahkan agama, iman, dan presiden selama ini?
Toh semua itu baik-baik saja, masih mengulangi lagi dan lagi. Itulah konsekuensi demokrasi yang tidak dibarengi ketidakdewasaan. Caci maki, menghina, dan merendahkan seolah menjadi karakter dan budaya baru bangsa ini.
SPI, di mana ada laporan dan sehingga menjadi urusan penegakkan hukum. Ada beberapa yang janggal dalam proses peradilan.
Terdakwa tidak ditahan. Apakah ancaman hukumannya sangat rendah sehingga tidak ditahan? Ini aneh dan lucu karena kekerasan pada anak, mau seksual atau tidak, hukuman tentu lebih dari lima tahun. Apalagi bukan hanya satu korban. Syarat di mana harus ditahan sudah terpenuhi lah.
Penahanan agar tidak menghilangkan barang bukti, mengaburkan fakta, dan tentu saja melakukan upaya intimidasi, damai di bawah tangan. Mempengaruhi para korban yang belum melapor untuk tidak menjadi saksi dan juga pelapor juga. Hal yang  sangat mungkin. Aneh ketika hal-hal demikian diabaikan pengadilan. Ada apa?
Ketika persidangan, korban tidak boleh didampingi pengacara, tetapi pengacara terdakwa ada di sana, boleh mendampingi. Logika berpikir seorang pendiri lembaga pendidikan, dibandingkan anak-anak korban itu jelas berbeda. Malah tidak diizinkan dari pihak yang anak-anak ini. Ada apa?
Berbeda ketika kedua belah pihak tanpa adanya pembela hukum mendampingi. Bisa lebih dimengerti dan waras. Jauh lebih obyektif dan tidak menjadi sebuah pertanyaan dan asumsi publik liar ke mana-mana.
Adanya sempat bertemu jaksa dan terdakwa.  Ini menjadi aneh dan lucu, kan orang yang berperkara tidak   boleh bertemu, sekadar basa-basi sekalipun. Sebelum persidangan ada media yang melaporkan adanya keberadaan jaksa dan terdakwa sudah sejak pagi bersiap di sana. Asumsi bisa saja ada pertemuan, apapun bentuknya jelas tidak etis.
Beberapa hal janggal tersebut membuat sebuah tanda tanya, bagaimana persidangan ini bisa dikatakan adil dan akan membuahkan peradilan yang obyektif, menghukum yang bersalah dan memberikan keadilan bagi para korban.
Apakah tidak lebih memberikan dampak psikologis dan pembenar atas pernyataan skeptis, orang miskin dilarang  berpekara dan menghadap  ke pengadilan? Miris.
Jadi ingat pernyataan seorang komisioner Ombudsman, di mana pertama kali bertemu dengan orang pengadilan sudah diajak untuk kerja sama. Adanya makelar kasus, orang jahat itu biasanya dua atau tidak kali pertemuan, ini baru sekali sudah mengajak kerja sama, lebih jahat lagi berarti. Â Toh bertahun lalu, hingga kini tidak ada tindakan lanjutan untuk memperbaiki keadaan.
Hukuman yang ringan, pemotongan masa hukuman, dan "bebasnya" di penjara     pagi para pelaku kejahatan dengan "embel-embel" pejabat, orang kuat, dan memiliki pengaruh memang masih demikian kuat. Memilukan ketika negara segede ini masih saja berkutat dengan feodalisme. Kekuatan tekanan massa dan netizen bisa mempengaruhi pengadilan.
Ekspose kasus SPI cenderung sepi, jadi sangat mungkin para korban akan menjadi korban kedua kalinya dengan peradilan yang tidak memberikan keadilan pada mereka.
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H