Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

SPI dan Peradilan Bebas Intervensi, Bukan Tekanan Publik atau Netizen

2 Juli 2022   15:15 Diperbarui: 2 Juli 2022   15:27 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
terdakwa kasus SPI: Jawapos.com

Terdakwa tidak ditahan. Apakah ancaman hukumannya sangat rendah sehingga tidak ditahan? Ini aneh dan lucu karena kekerasan pada anak, mau seksual atau tidak, hukuman tentu lebih dari lima tahun. Apalagi bukan hanya satu korban. Syarat di mana harus ditahan sudah terpenuhi lah.

Penahanan agar tidak menghilangkan barang bukti, mengaburkan fakta, dan tentu saja melakukan upaya intimidasi, damai di bawah tangan. Mempengaruhi para korban yang belum melapor untuk tidak menjadi saksi dan juga pelapor juga. Hal yang   sangat mungkin. Aneh ketika hal-hal demikian diabaikan pengadilan. Ada apa?

Ketika persidangan, korban tidak boleh didampingi pengacara, tetapi pengacara terdakwa ada di sana, boleh mendampingi. Logika berpikir seorang pendiri lembaga pendidikan, dibandingkan anak-anak korban itu jelas berbeda. Malah tidak diizinkan dari pihak yang anak-anak ini. Ada apa?

Berbeda ketika kedua belah pihak tanpa adanya pembela hukum mendampingi. Bisa lebih dimengerti dan waras. Jauh lebih obyektif dan tidak menjadi sebuah pertanyaan dan asumsi publik liar ke mana-mana.

Adanya sempat bertemu jaksa dan terdakwa.  Ini menjadi aneh dan lucu, kan orang yang berperkara tidak    boleh bertemu, sekadar basa-basi sekalipun. Sebelum persidangan ada media yang melaporkan adanya keberadaan jaksa dan terdakwa sudah sejak pagi bersiap di sana. Asumsi bisa saja ada pertemuan, apapun bentuknya jelas tidak etis.

Beberapa hal janggal tersebut membuat sebuah tanda tanya, bagaimana persidangan ini bisa dikatakan adil dan akan membuahkan peradilan yang obyektif, menghukum yang bersalah dan memberikan keadilan bagi para korban.

Apakah tidak lebih memberikan dampak psikologis dan pembenar atas pernyataan skeptis, orang miskin dilarang  berpekara dan menghadap  ke pengadilan? Miris.

Jadi ingat pernyataan seorang komisioner Ombudsman, di mana pertama kali bertemu dengan orang pengadilan sudah diajak untuk kerja sama. Adanya makelar kasus, orang jahat itu biasanya dua atau tidak kali pertemuan, ini baru sekali sudah mengajak kerja sama, lebih jahat lagi berarti.  Toh bertahun lalu, hingga kini tidak ada tindakan lanjutan untuk memperbaiki keadaan.

Hukuman yang ringan, pemotongan masa hukuman, dan "bebasnya" di penjara        pagi para pelaku kejahatan dengan "embel-embel" pejabat, orang kuat, dan memiliki pengaruh memang masih demikian kuat. Memilukan ketika negara segede ini masih saja berkutat dengan feodalisme. Kekuatan tekanan massa dan netizen bisa mempengaruhi pengadilan.

Ekspose kasus SPI cenderung sepi, jadi sangat mungkin para korban akan menjadi korban kedua kalinya dengan peradilan yang tidak memberikan keadilan pada mereka.

Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun