Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Puan Mempermalukan Diri dan Ibunya, Bukan Jokowi

22 Juni 2022   13:09 Diperbarui: 22 Juni 2022   13:16 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puan-Jokowi-Mega: Sindonews.com

Puan Mempermalukan Diri  dan Ibunya, Bukan Jokowi

Hari-hari ini media sosial diramaikan dengan video yang memperlihatkan, Megawati menerima Jokowi, pada sisi lain ada Puan yang asyik dengan hapenya. Tingkah Puan ini yang banyak menjadi bahan perbincangan. Biasa pro dan kontra.

Narasi yang berkembang adalah, Puan merasa diri di atas angin. Anak ketua umum partai terkuat saat ini. Di depan  Jokowi tidak tahu etika sopan santun. Seolah mempertontonkan bahwa  ibunya, Megatawilah yang lebih berkuasa dari pada Jokowi. Itu narasi publik yang ada.

Apakah seperti itu saja yang bisa menjadi persepsi dan wacana? Sangat bebas menafsirkan apapun dan itu hak di negara demokrasi. Beberapa hal yang bisa diulik dan itu bisa  benar, bisa saja keliru. Yang paham dengan apa adanya ya jelas Puan sendiri.

Narasi pertama, Puan mau mempermalukan Jokowi. Meskipun presiden tanpa Mega selaku ibunya dan juga PDI-P ia tidak akan jadi presiden. Artinya Jokowi itu bukan siapa-siapa. Tidak usah belagu dan merasa diri gede.

Narasi kedua. Mengapa dengan meja model kerja atasan bawahan? Karena Megawati sebagai ketua umum PDI-P ia adalah "atasan" Jokowi. Ia, Megawati sebagai penguasa dan juga pembesar, dan Jokowi adalah anak buah, bawahan, petugas yang bisa ia apa-apakan sesuai dengan kekuasaan yang ia miliki.

Narasi ketiga, Puan merasa di atas angin, bahkan dengan Jokowi sekalipun. Ketua DPR ini seolah anak kecil yang mendapat mainan baru di depan pesaingnya di kelas. Di depan ibunya ia merasa lebih gede dan akan mendapatkan apapun yang dimintanya.

Narasi keempat, Jokowi sebagai "petugas" partai bukan siapa-siapa di depan Megawati selaku ketua umum dan juga Puan selaku elit partai. Lugas dan tanpa beban Jokowi melambaikan tangan ke kamera yang diputar-putar oleh Puan.

Apa yang terlihat itu belum tentu apa yang dirasakan dan juga dimaksudkan siapapun yang menjadi pelaku di sana. Pun publik juga berhak menafsir apapun dengan segala asumsi, persepsi sesuai dengan kepentingan, pengalaman, latar belakang, dan harapannya masing-masing.

Ini adalah permainan politik. Jangan berpikir bahwa itu semua rigid dan hanya pendapatnya saja yang benar. Ide, gagasan, dan narasi orang  lain pasti keliru, salah, dan tidak bermutu. Politik tidak demikian.

Momen itu adalah pertemuan politik tingkat tinggi. PDI-P tentu bukan partai kacangan  yang dengan naifnya mempertontonkan   kekanakkanakan tanpa kalkulasi politik yang tentu saja berkaitan dengan 24.  Asumsi publik langsung mengaitkan dengan PDI-P pasti menolak Ganjar dan mengusung Puan. Hal yang bebas saja tafsir demikian.

Sama juga yang memberikan pendapat, kalau itu adalah setingan, di mana PDI-P tidak bisa diatur-atur oleh siapa saja dari luar.  Ketua umum berkuasa penuh untuk menentukan capresnya.  Benar dan tepat.

Apa yang ditampilkan Puan ini sangat susah untuk PDI-P membela diri atas apa yang terjadi. arogansi, tidak menghormati Jokowi, meskipun ia petugas partai toh presiden yang sedang menjabat.

Publik mulai menggemakan PDI-P no, dan itu risikonya sangat besar ke depannya. Jangan merasa militansi kader dan loyalisnya mampu membawa partai moncong putih tetap eksis jika memaksakan kehendak yang sangat naif. Contoh tetap mengusung Puan sebagai capres atau cawapres, karena Puan belum memperlihatkan kapasitas seorang pemimpin kelas presiden.

Hasil-hasil survey jauh di bawah tokoh-tokoh besar lainnya. Ini sangat penting. Bagaimanapun riet itu bagian dari politik modern. Tidak bisa disangkal.

Keberadaan loyalis Puan yang kasar, arogan, dan tidak tahu diri makin membuat publik eneg melihat cara mereka berpolitik. Menyerang bak babi buta pada rival, atau yang dianggap rival, dengan kata-kata yang tidak berkelas.

Perbedaan, persaingan dalam politik itu hal yang biasa, wajar, dan tidak ada yang luar biasa. Itu adalah dinamika yang alamiah. Mengapa harus menggunakan kata-kata kasar  dan arogan.

Puan kalau mau merasakan kursi presiden harus keluar dari zona nyaman dan membuat citra dirinya yang memang mampu. Buah pikir yang luar biasa, bukan hanya diam dan merasa diam itu emas. Diam  siapa yang paham apa yang ada di balik kepala itu.

Perilaku Puan dan loyalisnya selama ini malah mereduksi apa ya sudah ia miliki. Kan lucu modal itu habis bukan makin berkembang. Tanpa namas Sukarno dan bukan Mega "pemilik" partai PDI-P, sangat mungkin susah ia menjadi ketua DPR.

Begitu banyak orang pintar di PDI-P, loyalis, kader setia, tapi banyak juga kutu loncat yang masih setia di sana, seperti Ruhut, Tjahjo Kumolo, juga banyak yang cerdas, tegas, bisa di lihat dalam diri Rieke, Budiman, Adian, namun ada juga yang model mencari aman dan tidak tahu diri model Efendi Simbolon, Masinton, atau Pacul. Nah Puan mau mendapat masukan dan mentor dari  yang mana?

Makin asyik dan akan banyak kejadian lucu, panas, dan mungkin sengit kala menjelang 24 makin dekat. Semakin marak dan menarik apa yang akan terjadi dan hadir.

Semua partai politik dan politikus akan hadir demi membranding diri masing-masing dengan seluruh kemampuan. Kelucuan, kemunafikan, dan keanehan bisa saja terjadi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun