Belajar Demokrasi dari Roy Suryo
Menanggapi surat terbuka akun Acek Rudy, yang menyoal mengenai postingan Roy Suryo yang menggunakan meme dari akun lain.  ini Ingat Roy Suryo merepost tayangan pihak lain. Namun dalam  narasi yang disematkan, itu jelas-jelas pernyataan Roy Suryo sendiri, di mana ada sebagian pernyataan yang sesat, minimal menyembunyikan data yang sebenarnya.
Ia mengatakan tiket masuk Borobudor, naik dari Rp. 50.000,00 menjadi Rp. 750.000,00, jelas ini membuat narasi yang berbeda dengan faktanya. Pemerintah memutuskan, meskipun sudah ditunda adalah beaya naik ke candi, bukan tiket masuknya, itu dua ranah yang berbeda.
Apakah unsur keterbatasan karakter medsos, sehingga menuliskan demikian? Tidak. karena  bisa diupayakan dengan berbagai cara agar bisa maksudnya benar dan juga faktanya betul. Ini malah cenderung mengaburkan fakta demi kepentingan diri dan kelompoknya. Ini bukan asumsi kosong, namun sudah banyak fakta permainan politik Roy Suryo ya seperti itu.
Mirisnya adalah, Â ia yang selalu megaku pakar telematika, UU ITE, dan sejenisnya, tentu saja paham bahwa meme seperti yang ia unggah ulang itu jelas melanggar hukum pidana. Apalagi narasi yang dituliskan mengandung sebagian data yang salah, atau sengaja disembunyikan, sehingga publik yang tidak paham, ikut salah memahami. Mosok sekaliber mantan menteri, pakar, doktor, dan juga kerabat kraton tidak paham esensi.
Atau malah memang kadar berlogikanya seperti itu? Ada indikasi lompat logika seperti ini. kemarin ada sebuah pemberitaan, bahwa tukang jasa penyewaan mobil komando protes. Si penyedia jasa ini merasa bahwa mobil  komando itu miliknya. Padahal oleh Roy Suryo dengan keahliannya secara anatomi digital, itu ditengarai, atau malah dituduhkan milik PDI-P. Si pemilik mengatakan, mobilnya memang disewakan kepada siapa saja yang mau menggunakannya.
Bisa jadi, kader PDI-P pernah menyewanya, pun FPI Reborn juga menyewa dari pemilik dan mobil yang sama. Identik bukan dengan narasi tiket tad. Ada bagian-bagian yang publik tidak ketahui. Atau sengaja disembunyikan, atau memang tidak paham sangat mungkin ada bagian itu. Ini penting.
Demokrasi itu benar bebas dengan segala apa yang mau diperbuat. Tetapi juga bebas bagi pihak lain melakukan hal yang sama. Tidak elok ketika bebas karena merasa banyak dan ketika tersinggung  ngamuk. Atau diam saja ketika ada yang mengamuk dengan  cara yang sama. Tersinggung karena sama kelompoknya diam saja. Ini bukan demokrasi, namun bar bar berkedok demokrasi.
Apa yang dilakukan Roy Suryo jika masalah postingan ulang meme Budha ini dipersoalkan? Paling minta maaf, cemban dan selesai. Apa yang terjadi pada Ahok, Muhamad Kace, dan kawan-kawan. Padahal sering itu adalah fakta, namun dipelintir menjadi penistaan. Ingat di Tanjung Balai ibu-ibu dibui gegara toa? Ke mana Roy Suryo?
Kemarin juga, Roy Suryo mengajak Demokrat lebih keras dan getol mengritik pemerintah. Setuju pemerintah itu tidak mesti benar, tidak juga pasti memutuskan dengan baik. Nah di sinilah fungsi oposan. Namun, apakah ada dasar yang dipakai untuk mengkritik, atau hanya asal berbeda?
Jika asal berbeda negara ini tidak akan maju. Yang ada hanya waton sulaya dan itu menjatuhkan pemerintah yang sedang membangun. Contoh mengenai tiket Borobudur itu. Kritik itu menyoal mengapa ada tarikan dana Rp. 750.000,00, apa urgensi  dari penarikan uang tambahan itu. Jelas apa yang dipermasalahkan, dan pemerintah wajib menjawab itu.
Berbeda ketika mengatakan tiket naik dari 50 menjadi 750. Ini jelas bukan kritik namun sebuah upaya membangun persepsi yang tidak semestinya. Apalagi malah ditambahi gambar lelucon yang berpotensi membuat jengkel atau menistakan Budha dan Jokowi sebagai pemimpin agama, dan pemimpin negara.
Ini soal adab bukan masalah soal kemampuan dan pendidikan. Beberapa elit itu menggunakan kesempatan bahwa mereka akan diliput media, atau memang pengikutnya banyak, kemudian menggunakan itu sebagai kesempatan. Miris.
Almarhum Buya Syafei Maarif pernah mengatakan  media sosial dikuasai orang tidak waras. Sudah saatnya orang baik ambil alih dan berperan. Pesan yang sangat baik dan sudah seharusnya dijalankan oleh orang-orang baik. Jangan malah membiarkan orang tidak waras semakin merajalela.
Polanya sama. Membuat gaduh, minta maaf, dan seolah tidak ada masalah. Kalau kepepet mengaku akunnya dibajak, namun tidak pernah ada perubahan sikap dan perilakunya.
Pembiaran. Selama ini aksi demikian, menistakan, menyembunyikan sebagian fakta itu didiamkan. Hukum juga seolah tebang pilih. Mau apa rakyat jelata ini, ketika elit, pemuka agama berlaku semau-maunya sendiri dan bebas merdeka.
Ini fakta penyakit negeri ini. Munafik. Mengaku demokrasi namun sekaligus juga memunggungi azas demokrasi itu sendiri. Mencaci atas nama demokrasi, namun ketika mendapatkan balasan ngamuk, ngambeg, dan  merasa dizolimi. Ini sih bocah yang kalah main gundu dan mengaku temannya  curang.
Negeri ini tidak akan bisa berubah, jika elitnya manja, kolokan, dan kenakan-kanakan terus. Sikap bertanggung jawab sangat rendah. Maunya enak saja tidak mau susah. Proses mau salah atau benar ya dijalani. Kalau salah revisi, bukan malah menyalahkan pihak lain. Kedewasaan itu perlu pendidikan, Â pengalaman, dan juga keberanian.
Rakyat makin banyak yang bijak, sayang bahwa elit masih suka terkungkung dalam gua kenikmatan halusinasi mimpi hasrat berkuasa  dan juga enaknya kekuasaan bagi yang pernah berkuasa. Kedewasaan rakyat semoga menular ke elit.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H