Rendang Babi, Perjuangan UMKM ala Kominfo, Dirusak Politikus
Polemik rendang babi begitu banyak aspek yang bisa diulik, mau sisi agama, perilaku beragama, sosiologis, kuliner, politis, ideologis, ekonomi-bisnis dan juga tentu saja aspek pansos pihak-pihak yang terlibat di sana. Miris sebenarnya, salah satu yang paling mendasar itu adalah mengenai UMKM dan dunia digital.
Pandemi itu membawa dampak ekonomi yang demikian besar, utamanya dalam bidang ekonomi. Salah satu  pilihan sulit, pelik, dan penuh risiko adalah dengan penerapan PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar, lanjut PPKM, bukan lockdown sebagaimana keinginan oposan, Demokrat utamanya. Ini menjadi terobosan penuh risiko, namun akhirnya dunia mengakui.
Ekonomi melambat, namun tidak berhenti bahkan mundur. Konsekuensi logis. Nah, dengan kondisi demikian, ketika pandemi sudah melandai dan sangat mungkin menjadi endemi, ekonomi kudu digeber. Pemerintah, termasuk Kominfo mengatakan, jika UMKM adalah sebuah kekuatan untuk menopang pulihnya ekonomi dengan lebih cepat.
Digitalisasi UMKM juga sebagai sebuah upaya pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Penggunaan aplikasi Kominfo yang bisa membantu bisa berjualan di berbagai platform perdagangan yang berbeda. Jelas sangat membantu dan meringankan beban kerja dan pendaftaran bagi para pelaku usaha.
Apalagi. Jika kita bicara bahwa masih banyak dunia negeri ini sangat manual. Literasi digital itu menjadi sangat penting. Lebih banyak hanya untuk ha ha hi hi di media sosial. Menebarkan hoax dan kebencian. Hal yang oleh Kominfo sejatinya sudah digerakkan untuk meminimalisasi dampak ini.
Apa yang terjadi dengan rendang babi ini, lepas dari ulikan sisi-sisi agama, sosiologis, satu yang perlu kita cermati dengan baik adalah pelaku UMKM yang susah kreatif ketika kena dengan pasal agama yang dipolitisasi.
Mengapa demikian?
Komentar awal adalah oleh penceramah agama. Ini ranah agama, padahal kuliner, pelaku UMKM, yang disokong dengan amat besar oleh pemerintah, namun malah dibunuh oleh politikus, kebetulan oposan. Â Jelas aroma politisnya kenceng, sama juga dengan bipang Ambawang yang begitu gede-gedean digoreng pihak oposan.
Benar, bahwa bad news is good news, bipang Ambawang kini kesulitan bahan baku saking larisnya. Menyoal rendang babi ini  berbeda, pelakunya digelandang polisi. Kajian lain tidak menjadi fokus, ini soal UMKM yang dihajar oleh politikus identitas.
Pelaku, politikus minim prestasi selain sensasi. Apa sih kontribusi mereka ini, para penyinyir Senayan ini. Tidak yakin mereka mampu bergerak dan menghasilkan inovasi sekeren warung ini. Faktanya jadi  DPR juga hanya bicara sensasional tanpa isi kalau mau jujur.
Literasi digital memang masih jauh dari harapan. Padahal Kominfo, Johnny Plate menyatakan, bahwa mendesak literasi digital itu di tengah bangsa yang sangat besar selaku pasar, jangan hanya menjadi pengguna atau konsumen saja. Perlu beralih menjadi produsen dan sekaligus agen perubahan. Nah, malah politis nirprestasi ini menghajar demi pansos menunggangi apa yang bisa dijadikan tumpangan.
Salah satu keprihatinan literasi digital adalah hoax, eh malah sekaliber anggota, bahkan pernah jadi pimpinan dewan pun menggunakan hal ini. Ruang digital yang seharusnya bersih dan positif menjadi ajang caci maki, fitnah, pembiasan opini dan pendapat publik.
Suka atau tidak, bangsa ini sangat minim baca, emosional lebh dikedepankan, bagaimana tidak pernyataan, Agama Islam, adalah agamanya, Salah, pemain Liverpool, begitu saja sudah sewot, ngamuk, dan mencaci maki. Padahal sama sekali tidak ada unsur yang salah selain otaknya.
Sama juga dengan pernyataan ini, pria Sunda tidak boleh menikah dengan lelaki Jawa. Barisan ngamukan sudah pasang kuda-kuda dan urat syaraf. Dalil agama menguar, tanpa paham maksud dasarnya. Laki-laki dan pria kan sama.
Gairah beragama yang keliru. Masih seputar ritual, menuding dan menghakimi. Bagaimana ini pun meriah oleh tokoh-tokohnya demikian. Lihat saja media sosial bangsa ini, begitu banyak orang berkotbah, mengajari agama pada ruang publik, yang ia sendiri hanya paham karena youtube atau google semata.
Tayangan baju perempuan terbuka sedikit sudah kotbah, menyitir ayat-ayat suci, dan aneka bentuk kutukan dan caci maki. Padahal konteksnya di pantai, menyelam, dan sejenisnya. Bayangkan, bagaimana dunia digital kita penuh dengan kekisruhan yang seperti itu.
Penceramah agama bicara politik. Politikus menggunakan terminologi agama, akhirnya yang terjadi adalah orang buta menuntun orang buta. Sama-sama masuk jurang kebinasaan karena semua salah jalan. Miris, jika didiamkan saja.
Benar, kata almarhum Buya Syafei Maarif yang mengataka dunia media sosial, internet kita dikuasai orang tidak waras. Logika sesat, bengkok, separo benar, dan tidak logis pun merasa baik-baik saja. Â Saatnya orang waras dan sehat bersikap dan berbuat, balas dengan konten waras yang mencerdaskan.
Jangan dikira hanya orang tidak berpendidikan, namun juga orang-orang bertitel demi kekuasaan dan juga sakit hati rela melacurkan otak dan kepandaian mereka demi uang. Ruang digital kita demikian adanya.
UMKM yang lagi beranjak bisa menjadi ciut kalau takut berkreasi. Ranah yang cukup berbeda dan jauh sebenarnya, ketika agama, politik juga masuk pada bidang kuliner. Â Perlu kembali pada ranah masing-masing, sehingga tidak malah kacau balau tidak karuan.
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H