Johnny Plate dan Nadiem: Mediaindonesia.comÂ
DPR Â Beda Ngadepin Johnny Plate dan Mas Nadiem, Mengapa?
Menarik, Ketika Johnny Plate menggebu-gebu mengajak DPR membahas RUU PDP, Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi, sudah sampai tahap panja, namun mandeg. Eh Mendiknas sedang tahap perencanaan saja sudah heboh luar biasa. Â Sudah memanggil segala levelnya.
Ketika berbicara pada panitia kerja, berarti sudah jauh pembicaraan kedua belah pihak. Pemerintah dan dewan sudah sama-sama berbicara dengan sangat serius, intens, dan berkelanjutan. Hanya saja pihak-pihak  yang terkait sedang menemukan titik beku mengena siapa yang berhak mengelola data itu. Si penanggung jawabnya itu siapa, belum ada titik temu.
Toh DPR masih saja anteng, adem ayem, dan bahkan salah satu pimpinannya sampai mempertanyakan pada komisi I yang memiliki tanggung jawab akan hal terebut. Toh masih sama saja. Apa yang Johnny Plate harapkan masih diam di tempat.
Sejak tahun 2019 lho, sudah memasuki tahun ketiga, masih saja berkutat pada Tarik ulur kepentingan. Padahal ini bagi masyarakat itu sangat penting dan urgen. Bisa jadi bagi dewan ini tidak ada apa-apanya. Mau urgensinya bagi popularitas mereka dalam pemilu, apalagi jika bicara nilai proyeknya. Ini sungguh miris, karena payung hukum yang diperlukan  bagi masyarakat.
Masa pandemi  saat ini data pribadi sangat penting karena begitu banyak orang harus terhubung dengan menggunakan saluran digital dan applikasi. Nah, sering dalam memanfaatkan jaringan dan aplikasi itu perlu data pribadi masing-masing yang harus diserahkan.
Bisa jadi bahwa data-data pribadi itu beralih tangan kepada pihak ketiga. Itu sangat mungkin. Era berbeda jauh. Dulu KTP itu bisa dengan mudah ditinggal di kios bensin, karena kehabisan bensin dan uang tidak cukup. Sederhana, tinggal saja KTP. Pernah tahu sendiri, ada tukang kios yang merasa putus asa sekaligus kesal, karena setumpuk kartu identitas itu tidak ada yang mengambil, yang berarti juga uangnya amblas.
Era berganti, kini data pribadi itu sangat penting. Namun, pidana untuk para pelanggar hak private itu masih sangat lemah. Mengapa? Â Belum ada UU yang melindungi masyrakat atas hak dasar sebagaimana HAM lainnya. Data pribadi belum masuk ke sana
Eh, tiba-tiba semangat banget ketika  mendengar Mendiknas Dikti akan mengadakan sebuah evisi atas UU. Tahap  perencanaan saja direspons dengan mengundang Menteri untuk didengar pendapatnya. Benar itu hak dan bahkan kewajiban dewan, mengapa begitu lamban untuk RUU PDP?
Aneh dan ajaib, bisa begitu cepat, atau karena  menyangkut isu sensitive, soal istilah agamis yang merasa akan hilang. Padahal Mendiknas sudah menyatakan itu ada pada bagian penjelasan.  Artinya ini masih sangat dini, belum apa-apa, apalagi ternyata ada pada bagian penjelasan.
Masalahnya adalah mengapa  begitu cepatnya?
Ada istilah agamis yang sangat menjual secara politik. Ingat ini sudah menjelang tahun politik. Apapun akan disantap bak lele melihat kotoran. Apapun akan dijadikan gorengan dan pembahasan sekiranya membuat partai dan politikus bersangkutan bisa tenar.
RUU PD diharapkan rakyat dan pemerintah namun tidak membawa dampak olitis bagi mereka. Ini lh masalahnya, bagaimana kerja politik yang sarat  kepentingan dan tidak punya malu lagi. Seharusnya sama, minimal akan mendekati sama.
Benar bahwa politik itu kepentingan, tetapi tidak sekasar itu juga. Apa bedanya dengan fasisme jika demikian?
Apa yang dipindah itu menyangkut yang berbau agama. Padahal sangat mudah menjadi bahan bakar, tidak perlu naik seperti pertamax bisa murah meriah membakar massa. Hal yang sangat jeli untuk mengobarkan kebencian.
Hal yang bertolak belakang dengan UU PDP, di mana para pelaku ini, yang giat dalam membakar massa juga memalsukan dokumen dan identitas, sangat mungkin  mereka akan terjerat dengan keberadaan UU yang baik ini.  Artinya sangat merugikan mereka.
Bayangkan, jika kinerja dewan itu segesit, secepat, dan seresponsif mengenai pemindahan kata atau istilah madrasah, wah negara ini akan maju sangat pesat. Apa yang direspons cepat itu sebatas kesamaan dalam kepentingan dan sangat potensial membuat kisruh saja. Hal yang normative, tidak akan membawa kebaikan bagi mereka, mana mau.
Sama juga dengan anggaran korden rumah anggota dewan, hampir 100 juta per rumah. Bayangkan, itu bisa menjadi rumah bagi masyarakat kebanyakan. Perasaan mereka sangat tumpul jika bicara kepentingan rakyat dan keinginan mereka.
Mengenai pembicaraan RUU juga setali tiga uang. Miris, belum lagi mereka hanya teriak dan rebut tanpa sekalipun membuat inisiatif. Mereka bukan legislator, hanya tukang stempel semata. Kelihatan tidak punya kemampuan, selain hanya maido kerja pemerintah.
Semoga dengan kecepatan merespons rencana RUU Sisdiknas ini juga membuat panja dari pembahasan RUU PDP menjadi terlecut dan menghubungi Johnny Plate yang sudah menggebu-gebu. Jangan sampai nanti rakyat dan public menilai pemerintah yang lalai atau lelet lagi.
Menanti kerja cepet DPR seperti Ketika menyetujui anggaran korden dan memanggil Mas Nadiem. Keknya akan seperti kilat di musim kemarau.
Terima kasihÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H