Terawan: Merdeka.com
Terawan Menguak di Balik, IDI, IDSI, KKI, dan Demokrasi
Pemecatan Terawan dari IDI membuat demokrasi benar terjadi. Kini orang pro dan kontra namun dengan alasan dan landasan yang lebih rasioal. Berbeda dengan debat kusir biasanya. Lebih menundung dan menolak dengan alasan yang masuk akal. Tidak terkait dengan agama Terawan dan juga latar belakangnya.
Caci maki lebih sedikit dan dukung mendukung dengan alasan-alasan yang memang berkaitan dengan keberadaan kasus ini. Mengenai prosedur, Â efek manfaat, dan sejenisnya. Kedewasaan berdemokrasi benar ada kali ini.
Gorenga mengaitkan afiliasi IDI  dengan sebuah ideolog tidak cukup dominan. Asumsi yang wajar di tengah arus demokratisasi yang ada saat ini. Dugaan  perang mafia obat dan alkes juga masih sangat wajar.
Kemudian lahir dagelan bahwa yang mendukung Terawan lahirlah IDSI, ikatan dokter seluruh Indonesia sih hanya sebuah upaya lucu-lucuan. Menggeser  isu minyak yang lagi-lagi Mendag M. Lutfi tidak jadi mengumumkan pelaku yang membuat migor langka.
KKI. Sebuah produk dari UU no 29 Â tahun 2004. IDI menjadi bagian atas KKI, sebagai badan otonom yang bertanggung jawab pada presiden. Begitu luas cakupan KKI dan memang ada yang bersinggungan dengan keberadaan IDI. Polemik di sini, ada yang harus tunduk pada otoritas baru, di mana kewenangan sangat absolut dulu ada di dalam kendali mereka.
Pantas organ yang berdiri sejak 2005 ini malah seolah tenggelam dan tidak ada gaungnya sama sekali. Kepentingan  sangat mungkin berisisan dan itu adalah previlegi yang sangat menggiurkan. Suka atau tidak, memang di negeri ini sedang dan masih sangat kuat engaruh nonteknis seperti ini.
Berapa banyak pengalaman yang dituliskan mengenai kerugian masyarakat berhadapan dengan dunia medis, ini tidak bicara mengenai dokter saja, namun juga rumah sakit dengan pelayanan, obat, alat kesehatan, dan banyak lagi. Â Dokter ini kan hanya satu organ dalam menangani kesehatan. Â Bersama dengan perawat dan apoteker mereka berkolaborasi menangani dunia kesehatan.
Selama ini toh dokter seolah segalanya. Mereka juga sangat terbuka untu menjual obat, merekomendasikan pembelian obat dan alat penunjang ke kolega mereka, Â apotik misalnya. Â Pasien atau konsumen hanya bisa menjadi obyek yang tidak bisa apa-apa. Hanya manut. Â Â
Obat yang diberikan juga sering tidak ada sebuah diskusi, atau tindakan operasi, apakah ada pembicaraan yang benar-benar mendasar dan masuk akal, atau sekadar akal-akalan? Â Belum lagi masalah BPJS Kesehatan dan kesemrawutannya.
Kisah Terawan ini ternyata membuka mata publik untuk lebih peduli. Keberadaan dokter yang sangat mungkin bisa menjadi dewa penyelamat atau malaikat penyabut nyawa. Ingat, ketika IDI memiliki begitu besar kekuasaan, apapun bisa terjadi.
Jika ada dugaan malapraktik, kita perlu sebuah bantuan analisis dan ahli untuk menyatakan itu sebagai tindakan menyimpang atau tidak. Nah, ketika ada dalam naungan yang sama IDI, apakah bisa lepas kepentingan secara bebas? Â Apalagi jika kita bicara dalam konteks Keindonesiaan. Bagaimana susahnya bertindak netral dan obyektif ketika memiliki kesamaan.
Kecurigaan dan asumsi yang sangat wajar. Â Fakta lapangan menunjukkan hal demikian. Masih demikin lemah melihat kebenaran sebagai kebenaran, cenderung benar itu karena banyak, ada kesamaan dengan salah satu pihak, dan sejenisnya.
Patut bersyukur bahwa dengan kejadian ini mau memperlihatkan dunia kesehatan perlu pembenahan dengan radikal. Apalagi jika berbicara wisata kesehatan memberikan devisi gede bagi negeri jiran kita Singapura dan Malaysia. Orang kaya dan elit kita berobat ke sana. Ini kan memberikan doit pada tetangga.
Desas-desus yang sering beredar, sedikit banyak mulau tersibak tirainya. Bagaimana dunia kedokteran dan kesehatan negeri ini dikelola. Afiliasi politik dan ideologi konon juga sangat kuat. Â Jangan-jangan tudingan adanya mafia kala pandemi akan juga terbukti dan akan terbongkar.
Bagus bahwa kondisi ini malah membuat keadaan baik, lebih melegakan, karena bukan pro kontra yangjauh dari konteks, namun masih dalam koridor demokrasi yang semestinya. Tidak berlebihan, sehingga menyoal pribadi- pribadi yang terlibat, misalnya agama dan latar belakang lainnya.
Sikap Terawan yang tetap tenang dan tidak ikut memperkeruh dengan upaya pelaporan polisi atau bondang-banding juga membantu keadaan lebih baik. Kedewasaan, kebijaksanaan, dan malah bisa juga dibawa pada kondisi yang adem dengan guyonan.
Demokrasi itu ajang, di mana kebebasan mendapatkan tempat yang utama. Sikap tanggung jawab   dan taat azas juga mendapatkan poin penting. Melihat kejadian ini memberikan harapan baik, bahwa demokrasi kita bisa lebih sehat.
Perbedaan sikap dan pendapat itu hal yang lumrah, bukan sebuah alasan untuk ribut berlarut-larut. Harapan baik untuk hidup berbangsa yang lebih sehat.
Kedewasaan itu perlu proses. Tidak sekali jadi dan instan. Harapannya, ke depan makin baik ketika menghadapi polemik. Perbedaan yang membangun bukan merusak. Apapun alasannya, perbedaan itu hal yang lumrah, kepala dan hati yang adem sangat membantu demi hidup bersama yang lebih baik.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H