DEWG dan Polemik Ritual di Titik  Nol  Kilometer IKN
DEWG adalah sebuah capain prestasi yang tidak mudah. Namun gemanya menjadi lemah, karena kalah kepentingan dan politis gaduh yang memang sedang harus dialami. Johnny Plate selaku Menkominfo menawarkan tiga isu utama, konektivitas dan pemulihan pasca pandemi, kemam;uan dan literasi digital, dan arus data lintas batas.
Ketiga hal Itu semua dimaksudkan untuk menuju transformasi digital. Gaungnya sama sekali tidak terdengar, karena lebih heboh dan sibuk untuk berpolemik dan berkonflik bahkan mengenai ritual titik nol kilometer. Sama sekali tidak ada hal yang esensial yang bisa menjadi  alasan untuk berpolemik.
Pertama, DPR dan pemerintah telah sepakat pemindahan ibu kota. Artinya, pemerintah dan rakyat sudah menyetujui, toh dalam perbincangan dan pemberitaan, antara yang menolak dan setuju juga lebih kuat yang sepakat untuk memindah.
Alasan yang menolak itu sama sekali tidak cukup mendasar, selain alasan politis, untuk populer dan sama sekali bukan urusan yang sangat penting. Dalih semata-mata untuk menekankan bahwa itu jelek karena pemerintah yang menginisiasi.
Kedua, yang kontra ya itu-itu saja. Politikus yang ngebet untuk 24 atau parpol yang maunya ganti presiden dengan segala dalih dan isu yang kadang tidak bermutu. Artinya, bagi masyarakat perpindahan ibukota itu tidak menjadi hal yang penting.
Ketiga, usai tidak bisa menolak pemindahan dengan aneka alasan, kini ritual yang sangat umum dalam adat budaya bangsa ini yang dipersoalkan. Mau politikus, akademisi, pimpinan daerah, atau siapapun juga hanya waton sulaya, bukan sebuah hal yang benar untuk mendidik anak negeri agar lebih bijaksana, rasional, dan memiliki dasar berpikir waras.
Mau agama, mau manapun adat budayanya, ya jadikanlah landasan berpikirnya dasar negara ini Pancasila. Akan menjadi repot ketika semua kembali pada agama atau asal-usul msing-masing. Suka atau tidak, akan ada hal yang menabrak dalam konteks agama atau adat tertentu. Ini kekayaan yang bisa menjadi bencana kalau dikelola oleh orang yang picik dan tidak bijaksana.
Apa kaitannya dengan DEWG?
Salah satu target utama adalah digitalisasi dalam banyak sisi dan segi. Tidak ketinggalan adalah  literasi digital. Nah, ternyata dunia digital negeri ini, di saat gencar-gencarnya pelaksanaan DEWG malah banyak  informasi yang separo benar.  Hal tersebut dilakukan melalui dunia digital tentu saja.
Para pemain yang membuat narasi dan merencanakan kegaduhan ini paham dengan sangat baik bagimana masyarakat itu kemampuannya. Literasi digital kita masih sangat lemah. Pada sisi yang lain, yang melek itu malah menyesatkan. Â Â Â Â
Mereka sangat paham, bahwa masyarakat negeri ini masih suka baca judul dan tidak peduli isi. Berpolemik asal dikaitkan dengan agama, langsung meradang dan merasa benar. Ini masalah yang susah tuntas, karena keadaan enak dan nyaman bagi banyak pihak, termasuk pemuka agamanya yang sudah seharusnya meredam dan memelekkan pemikiran jemaatnya.
Literasi digital yang dikehendaki Johnny Plate selaku Menkominfo bisa kandas, jika mereka dibiarkan terus demikian. Apalagi mencampuradukan terminologi politik dan agama. Tindakan serba repot, karena pada sisi lain, mereka akan menggoreng dengan isu antiagama tertentu ketika mereka terkena tindakan tegas.
Simalakama menghadapi kelompok ini. Tegas katanya otoriter, dilembutin ngelunjak. Jagad digital suka atau tidak dikuasai mereka. Meskipun pada faktualisasinya tidak sama. Konkret pemilu 2019, suara riuh rendah di sosmed dan dunia digital tidak sama dengan kenyataan waktu pencoblosan.
Kominfo memang sudah bertindak banyak untuk mengatasi masalah-masalah ini. Terorisme dan  pornoaksi sudah bagus. Sayang memang di ranah kebencian ini menjadi lemah. Sangat mungkin karena kepentingan dan juga bersinggungan dengan agama. Apalagi pelakunya banyak dengan label agama yang sangat sensitif.
Sayang sekali gelaran DEWG sebagai salah satu rangkaian acara G20 kalah gaungnya. Johnny Plate dalam pembukaan ajang DEWG pada 15 Maret 22 mengatakan prasyarat tramnsformasi digital merupakan hal penting bagi bangsa ini. Â Acara yang akan berlangsung cukup panjang, hingga September ini sebenarnya panggung bagi bangsa Indonesia untuk sejajar dengan negara mau di dunia.
Johnny Plate mengaku bangga melihat transformasi digital negeri ini, di tengah pandemi dapat tumbuh dan mekar dengan tidak padam. Salah satu indokatornya adalah lahirnya star up baru di dalam kondisi yang tidak mudah ini.
Media, terutama media sosial jelas enggan mewartakan gelaran DEWG ini, karena sangat tidak sensi. Lebih menjual persoalan polemik IKN terutama yang terbaru soal ritualnya. Politikus, akademisi yang berkutat pada literasi mereka, apalagi kepala daerah. Mereka berlomba-lomba tampil. Media dengan suka rela mengusung ini.
Kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia itu sangat tidak menjual. Prestasi itu bagi publik negeri ini percuma. Hati-hati ini bisa membuat frustasi. Ingat Magnis Suseno mengatakan, juga Buya Syafie senada, kejabatan itu karena orang baik diam, jenuh dengan menyebarkan khabar baik yang tidak akan didengar, tentu membuat orang bisa patah arang.
Harapan tetap kudu didengungkan, bahwa kebaikan, prestasi, capaian, itu termasuk DEWG dan juga Presidensi G-20. Suka atau tidak, ini fakta baru pertama kali.
Terima kasih    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H