Kali ini, Johnny Plate yang mendapat sebuah sindiran kerjanya apaan? Sah-sah saja pernyataan demikian. namun, jauh lebih penting adalah mau membaca sehingga tidak terjebak pada asumsi kosong. Mengapa demikian?
Kerja keras masa pandemi itu tidak mudah. Simalakama, tidak hati-hati menjadi kluster peularan dan itu beban bagi pemerintah dan negara. Plus menjadi sasaran tembak empuk bagi oposan yang memang selalu mengintai di pojokan.
Pembangunan infrastruktur dan transformasi digital maju satu dasa warsa. Kebanyakan masyarakat dan elit politik hanya bicara politik dan pemilu. Maju 10 tahun itu sama dengan maju dua periode maksimal  seorang presiden.
Presiden selanjutnya tidak usah repot-repot bicara transformasi digital lagi karena sudah dikebut saat ini. berapa yang bisa dihemat, energi, waktu, dana, dan juga pemikiran bisa dialokasikan untuk yang lain. Kecuali presidennya    model perusak kayak yang menang pilkada dengan ayat dan mayat beda kisah.
Salah satu yang menonjol juga adalah pembangunan Satelit Multi Fungsi, Indonesia Raya, Satria-1 yang cukup cepat. Agustus tahun lalu dilaporkan 33% pada Februari bulan lalu, sudah 58.3%. Ingat ini pandemi dan juga banyak kendala. Pembatasan dan penyekatan, masih juga ekonomi sangat tidak mudah. Hasil ini tentu sangat tidak mudah. Eh masih dipaido.
Pembangunan penunjang, 11 Â stasiun pengendali di bumi. Pertama paling depan ada di Cikarang, dan akan meliputi seluruh tanah air, dari Sabang sampai Merauke. Semua pulau memiliki stasiun. Bedakan dengan masa lalu yang hanya Jawa, Bali, Sumatera. Pembangunan menyeluruh.
Mengejar ribuan BTS di daerah 3T. Mereka ini juga anak bangsa. Ke  mana pemimpinya selama ini, ketika masih banyak daerah yang blank spot? Di tengah keadaan sulit mereka juga disuguhi harapan yang diwujud nyatakan dengan bekerja.
Literasi digital itu ternyata juga penting untuk pegiat media, dan juga media sosial. Mereka perlu kritis yang mendasar, bukan semata katanya, dan juga karena beda rezeki dan afiliasi. Pelaku aktif media sosial sudah seharusnya kritis yang berbeda dengan mainan di warung kopi atau angkringan tepi jalan.
Pegiat media sosial memiliki kapasitas yang berbeda dengan warga kebanyakan. Namun ternyata masih sama pola pikirnya. Dunia sudah digital  namun pola pikir masih tradisional. Mainnya sih android namun pemikiran masih julid.
Terima kasih  Â