Literasi Digital ala Kominfo, Ternyata Pegiat Media Sosial juga Perlu
Salah satu target Kominfo adalah literasi digital bagi masyarakat. Kata masyarakat, Â Â sangat mungkin adalah orang biasa, kebanyakan, awam, dan bukan yang bergelut dengan dunia digital, contohnya medsos. Namun apakah demikian asumsi itu?
Tidak sepenuhnya demikian. Kita   pasti paham dong dengan apa yang terjadi dalam dunia media dan khususnya media sosial. Begitu banyak konten ngaco, hoax, separo data, dan kadang malah tidak berdasar sama sekali dengan data yang ada.
Belum lagi mengenai kebencian dan caci maki. Ini masalah yang sangat klasik pagi pegiat media sosial. Ketika ketahuan ngeles, hape dibajak, akun dihack, atau mengaku kilap dan meminta maaf dengan meterai.
Mengerikan sebenarnya ketika, restorative justice disalahgunakan dan disalahmengerti. Program baik dari Kapolri Jenderal Listyo itu sering dimanfaatkan untuk menghindar dari jerat hukum. Orang yang itu-itu saja, kelompok yang sama.
Hal buruk cenderung menular. Dulu, orang akan dikatakan kamret dan bermetamorfose menjadi kadrun, ketika isinya caci maki, separo data, dan sumbu pendek. Mengaku kritik padahal asal bunyi. Kini pendukung pemerintah pun sama saja. Setali tiga uang,
Presiden Jokowi mungkin sudah kenyang dengan dipaido, dinyinyirin, dan dijadikan sasaran tembak. Semenjak di DKI Jakarta, hal itu sudah mulai menggejala. Berbeda dengan di Solo, masih aman-aman saja. Nah menjelang pilpres sudah mulai menjamur serangan demi serangan, dan itu sering tidak berdasar. Termasuk fisik dan pribadi, keluarganya tidak juga ketinggalan.
Kritik itu ada dasarnya, bukan asal bunyi dan njeplak. Contohnya soal hutang negara, ada data-data yang disajikan, bukan semata klaim dan katanya-katanya. Pembangunan yang masif bisa dikatakan mangkrak itu jelas sudah ngaco. Bisa dipahami, ketika orang ngeles, kritik tidak usah memberikan alternatif solusi, oke bisa dimengerti ala barisan sakit hati. Namun perlu dasar, bukan asal bicara, itu yang penting.
Menghajar pekerja, mendiamkan yang memble tanpa hasil.
Paling memilukan. Seolah yang bekerja ini malah selalu saja salah. Padahal yang tidak bekerja, seolah tanpa hasil pada didiamkan. Tabiat yang perlu disadari, ini buruk. Bagi bangsa dan negara ini adalah beban yang harus dienyahkan. Ngabalin mengatakan inteloran dan radikalisme sudah stadium empat, ini sama, perilaku hanya besar mulut sama merusaknya.
Janganlah membuat orang yang bekerja malah menjadi berat untuk  melangkah. Apalagi kalau bukan dasarnya oposan, hanya kabencian atau  malah kalah rezeki. Ini persoalan sederhana namun mendalam dan penting untuk disadari sebagai sebuah bangsa. Dalam hidup bersama, orang di sini cenderung ngasal kurang mendasar.