Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika di Ruang Publik Nyaris Hilang, Sempritan Wasit Johnny Plate Jadi Andalan

17 Februari 2022   19:40 Diperbarui: 17 Februari 2022   19:45 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komunikasi: Pexels.com

Etika di Ruang Penyiaran Publik Nyaris Hilang, Sempritan Wasit Johnny Plate Bisa Jadi Andalan

Awal tahun 2022 diwarnai berbagai aksi tokoh publik yang melontarkan ujaran yang mengundang kontroversi bahkan berujung gugatan hukum atau reaksi kelompok masyarakat tertentu. Perkataan yang terpublikasi baik oleh liputan media maupun unggahan di social media itu cukup membuat kegaduhan. Sebut saja ucapan anggota DPR Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi. Ucapan keduanya bukan hanya mengundang kontoversi tapi juga menyinggung identitas kesukuan tertentu.

Di tahun 2021, beberapa kasus ujaran kebencian telah menggiring pelakunya ke penjara. Di antara kasus ujaran kebencian ini ada yang bermuatan SARA, ada yang berupa tuduhan kepada tokoh publik hingga aksi protes yang tak sesuai etika publik.

Jangankan para tokoh politik yang sangat rentan untuk punya kepentingan dan saling serang. Selebritis dari dunia hiburan pun tak kalah seru saling melontarkan ujaran kebencian kepada figur tak mereka sukai. Semua itu tertangkap kamera dan terpublikasi lewat beberapa platform.

Di era informasi digital ini, pesan-pesan dalam ujaran kebencian itu melesat cepat ke semua penjuru negeri. Sebuah ucapan bisa didengar ribuan orang di jarak ribuan kilometer dalam kurang dari satu jam.

Lantas, apakah ujaran kebencian atau perkataan yang semaunya ini akan jadi budaya jika terus dilakukan di muka public? Bagaimana edukasi etika kepada masyarakat apalagi anak-anak dengan contoh kasus ujaran yang tak beretika ini?

Sudah selayaknya Menkominfo Johnny Plate fokus pada penerapan etika publik. Jika tak memungkinkan mengedukasi publk untuk menyampaikan hanya ujaran yang baik maka perundangan penyiaran mungkin bisa fokus pada pembatasan publikasi ujaran yang menyalahi etika. Harus ada perangkat yang menjadi pintu masuk setiap tayangan publik baik di media massa maupun di media social.

Masyarakat berhak mendapatkan tontonan dan contoh yang baik. Ujaran kebencian atau ujaran yang meresahkan bisa memecah belah persatuan. Satu ujaran punya efek multiple, belum lagi dampak dari pihak lain yang memanfaatkan kejadian demi konten media dan membelokkan lagi muatan ujaran itu.

Lihat saja dampak dari ucapan seorang Edy Mulyadi yang menggerakkan beberapa anggota masyarakat suku Dayak untuk menayangkan juga ujaran balasan. Kata-kata yang terlontar telah berdampak pada tindakan yang dilakukan pihak yang merasa tersinggung.

Lontaran kata-kata yang memancing kegaduhan ini tak cuma terjadi di ranah politik atau ruang komunikasi yang bersifat sosial. Ini juga menyinggung ruang dakwah keagamaan. Belum lama ini Okky Setiana Dewi mendapatkan berbagai cibiran dan protes netizen atas isi dakwahnya yang dianggap melegalkan KDRT. Tak cuma makna kata yang diucapkannya yang dikupas netizen, kehidupan pribadi hingga jalan ia menjadi seorang pendakwah pun ditelanjangi publik.

Baru juga terjadi seorang pendakwah yang diasumsikan ketidaksetujuannya akan keberadaan wayang di Indonesia. Sontak saja pemerhati budaya dan para pecinta wayang nusantara bersuara. Ucapan ini jelas menyinggung mereka yang menjadi pecinta hasil kebudayaan nusantara berupa wayang. Protes dan sumpah serapah terhadap sang ustadz pun mewarnai ruang media sosial .

Saya sampai berpikir, apa semua isi ceramah itu sebaiknya tak usah diberi ruang untuk ditayangkan di muka publik? Jangankan di media mainstream, di media sosial pun jika nantinya akan menciptakan kegaduhan tak perlulah disiarkan. Atau, memang para pendakwah ini yang sebenarnya perlu dididik lagi?

Persoalan etika (tokoh) public ini sebenarnya masalah klasik. Tetapi, kecenderungan yang ada saat ini orang terlalu bebas berbicara, mengkritik, menuduh pihak lain dan mendapat memakluman dari public. Ini bisa jadi jalan kemerosotan etika komunikasi publik kita yang notabene mengagungkan kesopanan ala ketimuran.

Johnny Plate sudah menerapkan konsep komunikasi positif dalam hal penyebaran informasi seputar Pandemi. Konsep komunikasi poistif di seputar isu kesehatan dan ekonomi itu jadi pendorong optimism public. Nah, konsep komunikasi positif yang ada ini sudah layak untuk ditekankan pada komunikasi public di seputar isu politik, sosial budaya dan keamanan. Atau, semua bidang publik harus ditempatkan di ruang berpagar etika.

Ketika cara biasa masih membuat publik 'kebablasan', terbawa pola yang sudah lebih dulu terjadi, mungkin saja masa perlu wasit yang sigap mengingatkan dan menyampaikan sanksi. Saat ini peran itu bisa dimainkan oleh Johnny Plate sebagai penjaga penegakan regulasi penyiaran. Ayo pak, di mana ada pelanggaran etika, mainkan pluitmu. Semprit saja kami yang ngeyel-ngeyel ini. Ruang penyiaran publik butuh iklim yang kondusif dan pemandangan yang sehat untuk kami lihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun