Mereka akan beringas, arogan, dan merasa super jika bersama-sama kelompoknya. Â Hal yang sering muncul pasti akan mengaitkan dengan hal yang gede, agama, lembaga atu korp, padahal urusannya sepele, personal.
Sering akan  kita temukan, penistaan agama, tokoh agama, padahal yang dipersoalkan adalah pribadinya, bukan jabatan apalagi agamanya.
Ketiga, kepentingan politik. Jangan naif dengan mengatakan ini soal hukum atau agama. Lihat saja kapan sih marak demikian hebat kasus-kasus demikian? Baru beberapa waktu terakhir bukan? Ketika maling-maling berdasi dan bandit demokrasi merasa kewalahan menghadapi jebakan tikus yang memangkas rezeki mereka.
Mereka ini enggan susah dan berbagi dan memanfaatkan sentimen agama dan ras untuk memantik kondisi kisruh, sehingga politik gaduh tercipta, siapa tahu bisa dapat durian runtuh jabatan presiden.
Keempat, kepetingan dunia internasional yang makin susah dengan ketatnya pemerintahan saat ini Nikel, batu bara, menyusul bauksit, akan dilarang untuk ekspor seperti  yang sudah-sudah, mereka tenu saja gerah. Nah menggerakan makelar di dalam negeri yang biasa berpesta pora. Paling gampang ya menjual agama dan ras.
 Kelima, kebiasaan melihat ke luar yang tidak semestinya. Keberanian melihat ke dalam diri yang lemah. lihat saja mengulik agama pihak lain dengan paradigma, tolok ukur, dan standar milik sendiri. Mana bisa klop, malah akhirnya menjadi kacau balau. Tidak akan bisa ketemu, selain pertikaian dan membenarkan ajarannya sendiri dan mendeskreditkan pihak lain.
Padahal beragama dan beriman itu harusnya makin merunduk, bukan malah mendongak. Makin andap asor bukan  songong dan merasa diri lebih.
Keenam. Fanatik itu harus, namun bukan ke luar. Jika tidak fanatis ke dalam, beriman akan suam-suam kuku. Mudah goyah dan mudah gelisah. Padahal dengan menguatkan diri, fanatisme ke dalam, beragama akan menjadikan pribadi yang unggul.
Masalahnya adalah fanatisnya malah ke luar. Menilai pihak lain salah dan perlu dibenarkan. Ini menjadi biang masalah.
Negeri ini dininabobokan dengan  segala keributan yang ecek-ecek agar pihak lain dapat berpesta pora tanpa sadar. Miris, malah yang mau menyadarkan dianggap pengganggu. Iya memang, karena asyik mimpi dengan kekayaan tanpa susah payah, kog dibangunkan. Mana mau.
Tentu saja artikel ini tak hendak menoleransi cacian ataupun penistaan, namun bagaimana menyikapi fenomena yang  ada itu dengan arif, bijak, dan mengedepankan rasional, bukan emosional.