Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Seksualitas Itu Seru Bukan Saru

18 Desember 2021   13:27 Diperbarui: 18 Desember 2021   13:32 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan Seksualitas itu Saru Apa Seru?

Jadi ingat mengenai pendidikan seksualitas lagi, ketika banyak beredar berita kekerasan seksual, perkosaan, ataupu pelecehan. Miris karena banyak kekacauan informasi dan istilah, demi membela atau meringankan si pelaku.  Keberpihakan pada korban sangat lemah.

Perkosaan namun dituliskan dalam judul pelecehan seksual. Pelecehan itu sebatas meraba-raba atau adanya sentuhan yang tidak dikehendaki oleh pihak lain itu pelecehan, atau kata-kata tidak patut yang tidak menyenangkan secara seksual.  Suitan, siulan, atau rayuan ketika ada cewek lewat itu masuk pada ranah pelecehan.

Perkosaan itu jauh lebih jahat dan kejam, karena pemaksaan hubungan seksual. Ada kerusakan, kesakitan, kekerasan dalam kaitan dengan seksual. Trauma, merasa jijik jauh lebih gede dari pelecehan. Toh media memilih kata pelecehan dari pada perkosaan.

Jangan bicara ranah etis, karena kejahatan seksual juga abai  etis. Perlu diingat juga luka korban jangan malah ditambahi dengan memberikan keringanan pada si korban.

Dulu, cenderung menyalahkan pihak perempuan sebagai penggoda dengan katanya pakaian atau tampilan. Ini memberikan sebuah bantuan nafas  bagi para predator, sehingga mereka malah beralih menjadi korban. Ini biadab.

Persoalan pendidikan seksualitas yang masih kacau masih diperparah dengan atas nama etis, media memilih kata pelecehan tidak perkosaan. Tarafnya beda. Ini bukan soal etik, namun soal  kriminal. Masalah baru.

Pendidikan Seksualitas

Seorang Menteri Pendidikan, di masa lalu pernah mengatakan, pendidikan seks tidak perlu karena itu adalah alamiah, sebuah hal yang bisa terjadi. Ternyata sekelas profesor, akademisi, dan juga sudah tua pastinya masih sengaco ini.

Pendidikan seksualitas itu bukan hubungan seksual semata. Itu memang alamiah, instingtif, dan sebuah proses yang akan bisa terjadi dengan sendirinya. Naluriah sebagai makhluk hidup untuk bereproduksi.  Tidak perlu ribet dan repot memang.

Padahal pendidikan seksualitas itu jauh lebih luas, dalam, dan menyeluruh. Mengapa demikian? pendidikan seksualitas itu mengenai aku sebagai laki-laki berhadapan dengan si dia yang perempuan dengan segala aspek dan segi kehidupannya. Ada seks, jenis kelamin. Itu dasar dan tidak bisa ditawar-tawar.

Ada pula sisi psikologis, mengapa laki-laki lebih analitis dan perempuan  memainkan peran intuitif. Ini kadang menjadi konflik yang bisa berujung pada perceraian bagi pasangan suami-istri yang sama-sama keras dan maunya dominan. Padahal ini sebuah hal yang kodrati.

Sering kita dengar kata saru, tabu, kalau bicara mengenai seksualitas. Padahal aslinya seru. Hanya karena tidak paham untuk menerangkan, pilihan paling gampang adalah menghardik anak untuk tidak tanya-tanya lagi. Sebuah metode mempertahankan diri, egoisme orang dewasa, bisa orang tua atau juga guru.

Alat vital, alat kelamin, alat seksual itu namanya alat vital, vita hidup, sangat penting, namun mengapa begitu banyak kata kiasan, alias, dan nama lain hanya menyebut satu alat penis atau vagina. Ya karena ketidaksiapan mengajarkan apa yang vital itu.

Tangan tidak ada kata lain, kecuali bahasa daerah, atau juga rambut ya begitu. Tidak ada ketawa ketika menyebut, coba sebut penis dengan biasa, lingkungan akan melongok dan seolah heran. Hardikan akan menyerbu dengan sangat deras.

Kapan sih mulai pendidikan seksualitas?

Sejak ada di dalam kandungan. Orang tua yang mengharapkan kelahiran si buah hati dengan suka cita, bahagia mempersiapkan uba rampenya, berdiskusi dengan hangat mengenai nama si calon bayi, penuh cinta mengusap-usap perut si ibu, akan direkam si calon bayi sebagai penerimaan diri yang sempurna.

Orang tua yang menggantikan popok dengan penuh kasih sayang, bukan nggedumel, apalagi mengumpat, anak bikin repot, itu sudah sebuah rekaman yang akan disimpan si bayi. Jangan dikira karena masih bayi tidak memiliki memori. Sangat kuat ingatan itu.

Pendampingan orang tua, sejak sebelum lahir hingga dewasa itu juga pendidikan seksualitas. Bagaimana memilihkan pakaian, baju, dan potongan rambut itu membantu anak untuk yakin dengan identitas kelaminnya.

Mengapa terjadi kekerasan seksual?

Pribadi yang inferior namun memiliki kuasa sangat terbuka menjadi pelaku kekerasan seksual. Mengapa? Karena ranahnya privat, personal, dan kemungkinan gagal yang diikuti pembullyan sangat kecil kemungkinannya. 

Relasi kuasa. Guru-murid, tokoh agama-umat, dosen-mahasiswi, dan adanya kesenjangan kekuasaan yang membuka kesempatan terjadinya kekerasan seksual. Atasan pada bawahan, bisa pula perempuan dengan laki-laki.

Pribadi yang terluka. Pembalasan atas kejadian di masa lalu. Korban sodomi biasanya akan membalaskannya di kemudian hari, jika tidak mendapatkan pendampingan yang layak. Balas dendam itu hal yang paling biasa terjadi.

Padahal ketika bicara seksualitas itu seru. Anak-anak antusias, tetapi sering takut karena kerap mendapatkan teguran bahkan hardikan, saru atau tabu.

Kesiapan orang dewasa, orang tua atau guru untuk bisa menerangkan bagi anak dengan kapasitas mereka. Hati-hati media sosial begitu melimpah memberikan informasi. Ingat, bukan pendidikan, namun informasi. Kadang benar, kadang salah, sebagian ngaco juga banyak.

Keroyokan antarguru bidang studi bisa sangat membantu. Biologi, agama, BK, dan siapapun yang mampu menjelaskan pada murid.

Mengapa penting? Karena guru dan orang tualah yang perlu menjadi rujukan dan kepercayaan bagi anak-anak. Jangan sampai mereka belajar dari internet dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Pendidikan seksualitas itu seru bukan saru. Siapkah untuk terbuka, itu yang penting.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun