Omicron dan Alasanku Memakai Masker
Saya selalu mengenakan masker, ketika di luar rumah. Menyapu halaman  karena tepi jalan tetap menggunakan masker untuk menutupi mulut dan hidung. Beberapa alasan dapat saya kemukakan.
Pertama, saya menghargai para korban covid yang berjuang antara hidup dan mati. Salah satu rekan ada yang sampai dadanya dilobangi tiga titik. Bekasnya masih tampak dengan jelas. Belum lagi dampaknya, berbulan kemudian masih berat nafasnya kalau berbicara sekitar 15 menit atau lebih.
Bisa dibayangkan, bagaimana perjuangan-perjuangan para penyintas itu. mau ringan, berat, ataupun hanya dianggap sebagai penyakit biasa. Bayangkan saja  mereka tidak bisa membui, mencium, dan juga merasakan.
Bagi penyuka kopi seperti minum air tawar. Penyuka parfum pasangan, eh seperti tidak ada apa-apa. itu mengerikan. Ditambah narasi di mana-mana yang sangat tidak jelas. Â Kepentingan dan keuntungan yang ikut berbicara.
Kedua, perjuangan para nakes. Benar, mereka ada pekerja, profesi mereka, ini konsekuensi pekerjaan. Tetapi di tengah pandemi semua berbeda, berubah. Bayangkan berjam-jam mengenakan APD, lelah, letih, kehausan, menahan kencing itu siksaan. Toh mereka bekerja demi keselamatan yang lain.
Belum lagi was-was ketularan, keluarga mereka bagaimana dan seterusnya. Hal yang sangat berat dan tidak mudah pastinya. Toh mereka bisa bertahan. Â Duka dan bahagia kekal bagi yang tidak mampu bertahan dan kalah karena keganasa covid dan juga egoisme orang lain.
Ketiga, keluarga korban, bagaimana keluarga kehilangan, anak, ibu, bapak, atau keluarga yang lain. bisa jadi mereka ini orang yang taat prokes, karena egoisme sekelompok orang, entah atas nama agama atau atas nama kebodohan mereka memaksakan kehendak untuk tidak mau mengenakan masker, tetap beredar ke mana-mana tanpa mau tahu dengan kebersihan diri, korban orang lain.
Keempat, simpati pada guru dan tenaga kependidikan. Bagaimana mereka berjibaku untuk berkreasi sehingga pendidikan bisa berjalan, meskipun sangat susah. PJJ itu hal yang sama sekali baru dan harus dilakukan. Kala PTM tahu kondisi real mereka pasti sedih alang kepalang. Kemampuan anak jauh dari yang diperkirakan. Cek saja kalau tidak percaya.
Kelima, para pejuang taha diri untuk ngider. Ini banyak lho, mereka pasti jenuh, frustasi, dan juga jengkel, namun mau patuh dan taat dengan kebijakan yang sama-sama tidak disukai. Toh semua, seluruh dunia mengalami.