Ada dua kisah yang masih hangat menjadi perbincangan publik terutama dunia maya. Kisah yang menyangkut anggota dewan sebagai anggota DPR yang sedang berbicara kapasitas sebagai wakil rakyat, di gedung dewan, dan dalam rapat resmi.
Junimart mengatakan bubarkan saja ormas yang sering membuat gaduh dan kerusuhan, pada rapat bersama koleganya dari eksekutif, dalam hal ini Mendagri. Artinya, ini ada dalam kapasitas yang semestinya, ada masukan dari wkil rakyat pada pemegang otoritas negara, pemerintah.
Kejadian Arteria Dahlan, menyangkut kehidupan pribadi si anggota dewan yang sedang bersama keluarga, ada gesekan dengan masyarakat, di bandara. Tempat kejadian ada di luar  tempat tugas, keberadaannya juga bukan sebagai anggota dewan, namun pribadi bersama keluarga, aktivitasnya, sangat mungkin bukan resmi sebagai wakil rakyat. Bisa saja ia sedang tugas luar, namun jauh dari kedinasan sebagai dewan yang mulia.
Reaksi dan aksi lanjutan dari kedua kisah tersebut layak untuk menjadi pembelajaran di alam demokrasi yang masih coba-coba. Benar dan setuju bahwa ada hak imunitas sebagai anggota dewan, namun perlu juga belajar, bagaiman imunitas itu menjadi perlindungan wakil rakyat dalam kapasitasnya benar-benar memperjuangkan keberadaan rakyat, tidak untuk urusan pribadi.
Benar, bahwa keluarga itu juga rakyat, namun apakah itu menyangkut hajad hidup orang banyak atau hanya sekitar keluarga dan dirinya saja? Ini yang harus dipahami dengan menyeluruh, sehingga tidak menjadi kacau balau.
Imunitas anggota dewan itu sudah pada sebuah keharusan karena jabatan dan fungsinya yang sangat sentral, ingat ini bicara ideal bukan faktual yang terjadi hari ini di negeri kita tercinta. Kajian secara ideal.
Mengapa harus ada imunitas? Ya biar wakil rakyat bisa bekerja leluasa, tidak takut bui, dan membela kepentingan yang diwakili dengan sekuat tenaga. Tetapi yang terjadi setiap saat adalah, mencampuadukan kepentingan dan kejadian personal, namun dikaitkan dengan jabatannya sebagai anggota dewan. Benar, itu melekat, karena orang dan jabatan itu satu.
Perlu jernih membedakan mana jabatan, mana persoalan pribadi. Ilustrasi gampang, Â laki-laki sebagai bapak di rumah, guru di sekolah, dan juga ketua RT di lingkungan. Ketika di rumah ia mencubit anaknya untuk mendidik puteranya, yang "bekerja" adalah bapak, bukan ketua RT, bukan guru, benar sebagai guru dan ketua RT itu sama orangnya.
Naif, ketika mengatakan, seorang ketua RT dan guru mencubit anak di bawah umur dengan alasan pendidikan. Hal yang sangat mungkin terjadi karena media mau mencari pembaca dan membuat judul sensasional.
Mengapa bisa terjadi sikap yang berkebalikan antara kejadian Junimart dengan Arteria? Beberapa hal layak dicermati sebagai berikut;
Pertama, politik gaduh. Ini terjadi karena politik seolah segalanya, dan mereka memainkan kegaduhan untuk mendelegitimasi pemerintah. Hanya sebuah alasan dan dalih, sebenarnya mereka paham (tidak semua lho ya), namun membentuk opini publik kalau aa hal yang gawat.
Kedua, abai akan azas dan konsensus. Lagi-lagi ini adalah permainan politik, mereka paham apa yang terjadi, namun demi mendapatkan keuntungan ya lakukan saja manipulasi apapun itu. Demokrasi itu ada  batasan, lima tahun, nah mengapa mereka tidak tahan dan membuat ulah? Ya karena tidak taat azas dan konsensus. Munafik.
Ketiga, kebanggan korp yang berlebihan. Ada dua ormas yang disebut, satunya tidak bereaksi berlebihan, satunya sangat berlebihan dan membuktikan statemen Junimart benar, karena adanya senjata tajam waktu berdemo. Layak bubar.
Keempat, berkaitan point ketiga, mereka yang berlebihan memiliki  jaringan, politikus terutama yang sangat besar. Mereka sudah "berjasa" atas orang dan lembaga, sehingga memiliki potensi untuk  menuntut balas jasa untuk "perlindungan".
Kelima, feodal dan KKN gaya baru. Tekanan massa dan publik dengan pembentukan opini bisa membuat kejadian sebenarnya bias. Hal yang berbahaya, karena kebenaran bisa jadi bukan UU atau pasal-pasal KUHP, namun tekanan massa dan opini publik yang sudah direkayasa. Sangat berbahaya bagi hidup bernegara.
Keenam, media yang biasa semata mencari uang dengan membuat judulclik bait atau bombastis, memotong-motong masalah, membesar-besarkan persoalan, dan juga menyembunyikan fakta, sehingga publik terpancing untuk panas dan kemudian kejadian sebenarnya malah tertimbun dalam-dalam.
Ketujuh, masyarakat masih minim literasi, sehingga mudah diombang-ambingkan pemberitaan yang kadang hanya separo benar. Tentu saja ini dengan sangat baik diketahui pihak-pihak yang mau menggunakan kesempatan untuk keuntungan kelompoknya.
Kedepalapan, memang ada sekelompok elit yang biasa memutarbalikan fakta dengan tujuan membuat disinformasi kemudian masyarakat menjadi apatis dan tidak mau tahu dengan keberadaan negara. Tujuannya untuk memperlemah pemerintah dan negara tentu saja.
Kesembilan, pembiaran demi citra politik baik dan atas nama stabilitas nasional, membuat kelompok-kelompok tampil dengan baik namun di balik itu garang. Tentu publik paham kog siapa-siapa di balik kelompok---kelompok arogan itu.
Semua memang harus dihadapi. Namanya juga demokrasi yang baru latihan. Syukur bahwa latihan saja sudah seperti ini. Memang harus diakui masih terlalu banyak masalah yang perlu diselesaikan dengan kesadaran bersama.
Eforia sekian tahun represi dan kemudian menjadi bebas tanpa batas, dan itu wajar kalau keadaan seperti ini. Yang sudah merasa nyaman dan aman kemudian enggan untuk adanya pembenahan yang ujungnya mereka akan terlibas.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H