Anies Baswedan  Soal Formula E
5 Alasan Jokowi Enggan MembantuRiza Patria menyatakan hendaknya pemerintah pusat turun tangan untuk "membantu" formula e. Â Hal yang layak dicermati, bagaimana "kebiasaan" Pemrov DKI dalam menangani tanggung jawabnya. Beberapa hal layak dicermati lebih mendalam.
Sebelum mengulik lebih dalam, kita lihat dulu beberapa hal yang berkaitan dengan baik, latar belakang kejadian aneh dan lucu ini. Jokowi tidak tinggal diam kog dengan keadaan masa lalu dan daerah. Lihat saja berapa banyak tinggalan masa lalu, ingat bukan hanya era SBY yang mandeg dilakukan lagi.
Berapa panjang jalan tol, jembatan, bandara, pelabuhan, waduk, bendungan, dan gagasan-gagasan yang pada masa lalu tidak bisa lanjut dengan berbagai-bagai alasan.
Tetapi  tidak dengan Hambalang. Mengapa? Ya bukan tanggung jawab juga Jokowi untuk meneruskan perbaikan atas kerusakan dan sisa masa  lalu yang tidak mendesak untuk dilakukan.  Hal yang wajar untuk pengingat bagaimana pertanggungjawaban itu juga penting.
Sekarang, mengapa Formula E tidak ditanggapin dan dibantu untuk menyelenggarakannya?
Pertama, Anies Baswedan, sudah terlalu sering  ninggal kokoh, ungkapan Jawa untuk menyatakan orang jorok, tidak bertanggung jawab, mengabil nasi banyak dan tidak dihabiskan. Berkali ulang model demikian. Ada  polemik naturalisasi dan normalisasi. PUPR turun tangan karena hanya membuat banjir, bukan solusi. Eh malah manggut-mangut kesenengan.
Diulangi lagi pandemi. Mulai dari dana bansos yang datanya juga tidak jelas. Pas puncak juga menyerahkannya pada pusat. Tanpa malu, ketika sudah melandai koar-koar menglaim hasil kerja kerasnya.
Kedua, ini, formula e itu tidak ada yang mendesak dan urgen untuk harus ada. Berbeda jika covid tidak diambil alih, masalah bak efek domino yang terjadi. Jakarta menjadi sumber dan biang virus padahal ibukota negara dan sumbangan angka tertinggi terus menerus.
Tentu bukan soal data semata, namun nyawa. Satu nyawa karena pemerintah teledor itu tidak baik. Keputusan tepat, meskipun menjengkelkan.
Sama juga dengan banjir dan normalisasi kali. Polemik tidak menyelesaikan masalah, wong memang orangnya yang bermasalah. Pilihan Kemen PUPR bisa dimengerti.
Ini kan sama juga dengan anak sekolah ngemplang SPP, bapaknya kembali bayari. Urusannya lebih penting dan demi masa depan sekolah juga. Anaknya mblangsak itu urusan lain.
Ketiga, formula e itu hanya sebuah gengsi dan unsur menyaingi pemerintah pusat. Mandalika sudah jadi, sebenarnya sederhana kalau memang pemerintah pusat mau. Semua tinggal menambah hal-hal teknis semata.
Infrastruktur sudah siap dan sangat mungkin dilakukan di sana. Tidak ada yang susah, berkaitan dengan fisik penunjang balapannya.
Keempat, bagaimana pertanggungjawaban anggaran yang masih menjadi kesimpang siuran. Jika pusat mengambil alih, sama juga membuang air ke kolam pasir. Uang lenyap tak bersisa.
Kejam, keras, ya wajar, jika pemerintah pusat emoh membantu lagi. Ini masalah sikap tanggung jawab, dan dibiarkan juga Jakarta tidak kenapa-kenapa, berbeda jika itu banjir dan covid. Anies Baswedan yang mengaku dan memang pendidik harus paham, pendidikan kadang juga perlu keras dan kejam.
Selain keuangan yang masih gelap, tidak jelas, dan masih simpang siur. Pemerintah pusat tentu memiliki skala prioritas. Ketika balapan yang tidak tenar itu mengapa harus diberi gelontoran dana. Yang pasti akan menguap tidak bersisa juga.
Kelima, pemimpin itu bisa membuahkan ide yang aplikatif, bukan asal gagasan dan kemudian minta pihak lain menyelesaikan. Beda dengan desain dan tukang lho. Itu kolaborasi. Kalau yang ini hanya kebanyakan ide namun pelaksanaannya nol, tapi anggaran selalu gede dan gak jelas.
Mengenai formula e ini bukan hanya sekali, namun berkali ulang, ngaco tanpa mampu menyelesaikan. Pemerintah pusat menjadi dewa penolong. Masalahnya lagi, pemimpinnya model tak tahu malu. Usai sukses petentang-petenteng  mengaku sebagai hasil karyanya. Tentu Jokowi dan jajarannya sih tidak ambil pusing itu.
Erick Thohir sudah mengatakan penugasannya bukan untuk ini, formula e tentu saja konteksnya. Jelas, bahwa pusat tidak mau ambil pusing. Â Hal yang baik tentu saja, agar keuangan yang ada bisa dialokasikan untuk hal yang lain.
Bagaimana bisa orang dan pihak yang selalu mencela banyak hutang itu juga ada di balik rancangan ngaco ini. Coba buktikan dulu uang itu ke mana. Sangat mungkin jika transparan pemerintah pusat mau ikut serta. Balapannya tidak salah, hanya masalah keuangan yang tidak jelas, sudah main potong pepohonan Monas lagi.
Anies Baswedan menemukan batu karang beneran. Tidak semua bisa dengan gampang ia dapatkan. Pengalihan tanggung jawab seolah hal yang lumrah. Sae kebak sundukane, dan kini, semua berakhir, tidak ada dewa penyelamat yang selalu  ia rendahkan itu.
Pilihan bijak dan terbaik dari Erick Thohir yang tentu saja di tangan Jokowi yang mengatakan silakan atau jangan. Â Kegagalan mutlak yang sangat tidak terduga oleh Anies Baswedan dan kawan-kawan. Mereka terbiasa berlaku demikian.
Pilihan dan keputusan terbaik dari Pemerintah Pusat. Biarkan saja daerah yang gegayaan juga menyelesaikan apa yang sudah mereka rancang. Membiarkan anak nakal untuk bertanggung jawab itu juga penting. Membantu terus malah membuatnya kolokan dan bubar jalan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H