Andika-Dudung, Komisi Fatwa MUI, dan Terorisme
Beberapa waktu lalu, Fadli Zon dan petinggi MUI menyoal keberadaan Densus 88 dengan aneka macam alasan. Tiba-tiba, tentu dalam pandangan publik, ada pemberitaan petinggi MUI ditangkap karena dugaan terorisme. Lagi-lagi nada mempertanyakan kepolisian terdengar dari majelis keagamaan itu.
Hari ini, Presiden  Jokowi melantik Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa dan KSAD Jenderal Dudung. Keduanya dari Angkata Darat, dan memiliki satu kesamaan di mana berani dan bersikap tegas pada pernyataan, perilaku, dan dukungan terhadap radikalisme di tubuh militer.
Pernyataan Menhan lalu, Ryamizard Ryachudu jika 3% anggota militer telah terpapar aliran radikal, perlu mendapatkan perhatian kembali. Mengapa demikian? dala banyak kesempatan, ternyata militer dan atau  keluarga sering mendukung dan memberikan pernyataan yang memiliki pemikiran dan sikap menyetujui aksi radikalis.
Contoh mengenai kedatangan Rizieq Shihab yang dielu-elukan massa pendukungnya, ternyata banyak militer dan keluarganya yang menyatakan dukungannya. Padahal jelas-jelas apa yang dilakukan pentolan FPI itu bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penghinaan pada Pancasila, ujaran kebencian pada Kebhinekaan itu warna ideologi yang jelas bukan dasar dan falsafahmiliter NKRI.
Pun kekerasan yang menimpa Wiranto, ia adalah senior, sesepuh militer, namun ada anggota keluarga besar militer yang merendahkan sang purnawirawan dan memberikan pujian kepada pihak yang melakukan aksi teror. Ini ada apa? apakah ada sebuah kesalahan atau memang berafiliasi ke sana?
Ini bukan bicara soal agama, namun ideologi yang berbalutkan agama, demi mendapatkan simpati. Mana ada sih agama yang mengajarkan kekerasan, pembunuhan, termasuk bunuh diri? Â Agama menjadi alat dan legitimasi untuk menggoda publik agar tidak berpikir jauh. Ingat, agama penuh dengan dogma yang oleh pihak-pihak tertentu dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan.
Kasus TWK pegawai KPK memperlihatkan itu masalah ideologi, bukan karena agama. PGI pun ikut turun tangan. Mengapa? Itu bukan soal semata agama, namun ada upaya merongrong ideologi negara Pancasila yang sudah final dan mengikat.
Pembiaran selama ini menjadikan gerakan ini sangat aman. Menyusup ke mana-mana, menebarkan isu dan narasi yang diakhiri dengan ujaran agamis-religius yang menjadikan banyak pihak terpedaya dan ketika diberitahu ada yang tidak pas, akan hadir tudingan penistaan dan menjadi gorengan yang luar biasa.
Lihat saja bagaimana alotya pembubaran FPI dan pelarangan HTI. Pembelaan dari segala penjuru hadir. Ini negara demokrasi, namun ketika melanggar aturan ya bukan lagi atas nama kebebasan berserikat. Simalakama demokrasi, ketika orang belum dewasa, asih munafik, dan abai konsensus, berteriak demokrasi, sekaligus memaksakan kehendak. Jelas ini ngaco dan bukan demokrat yang sejati.
Perbedaan pendapat itu wajar, namun ketika sudah  merassa diri paling benar dan pihak lain pasti salah, itu bukan lagi perbedaan pendapat. Memaksakan kehendak.
Pelantikan dua jenderal angkatan darat ini memiliki nilai strategis yang sangat penting dan mendasar. Usai penangkapan Rizieq dan Munarman keadaan lebih tenang karena duet aktor dan sutradaranya sudah terbungkam. Namun, anasir-anasir tukang teriak masih sangat kencang.
Teguran untuk Fadli Zon dari Gerindra, penangkapan anggota komisi fatwa MUI karena dugaan pendanaan terorisme ini sebuah rangkaian, bagaimana yang pernah menyerukan pembubaran Densus itu ada sesuatu yang perlu diluruskan lagi.
Densus tidak pernah berhenti bekerja, menangkap, meringkus, dan mengejar teroris ke mana-mana. Hapir setiap saat ada pemberitaan penangkapan di sana dan di sini. Mirisnya adalah, begitu banyak pembelaan dan itu yang membuat publik jadi bingung.
Sebuah kesengajaan, di mana massa menjadi kacau pemahaman mana yang benar dan mana yang salah. Karena berlindung di dalam balutan agama, Â pihak-pihak yang kritis menjadi jerih karena akan dicap sebagai penista agama.
Politisasi agama dan politik agama telah saling berkelindan dan itu keuntungan bagi pihak-pihak yang memang mengagendakan itu. Lagi-lagi pembiaran karena kepentingan.
Kini, harapan negara Pancasila  berdasarkan Bhineka Tunggal Ika menuju pada rel yang semestinya. Pelantikan Andika menjadi Panglima TNI tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Sikapnya mengenai terorisme dan aksi radikalis telah gamblang dan jelas. Pilihan pelik dan rasional.
Jenderal Dudung yang membuat FPI akhirnya benar-benar bisa bubar. Sikapnya yang tegas dan berani menjadikan kubu FPI keder juga. Mereka ini kelompok yang gede ancaman, semu, dan main keroyokan. Mengandalkan kekerasan otot. Militer itu tidak semata otot, ngotot, dan ngeyel, namun juga menggunakan otak dan logika.
Sikapnya yang langsung menurunkan baliho, menjadi punggawa di mana Pol PP dan polisi tidak berdaya,mebantu banyak. Kemarahan pentolan FPI yang membuatnya lepas kendali dan banyak ulah yang membawanya menyerah dengan keluke Mapolda Metro Jaya.
Masalah krusial, ketika aparat negara tidak lagi komit pada landasan ideologi negara, ya lemah dan siap saja dirongrong pada garong yang memang selama ini telah kenyang dari negeri ini. saatnya bersih-bersih, dan itu tentu perlu kerja keras dan kerja cerdas.
Perlawanan dari elit atas nama kebebasan alam deokrasi memang mengerikan, karena tabiat lemah tanggung jawab, tidak malu-malu bermuka dua alias munafik, dan ujungnya dengan palu agama, penista agama, kafir, dan seterusnya.
Sebuah rangkaian yang serupa puzzle di penghujung 2021. Harapan kembali pada jati diri Nusantara makin tampak dengan jelas.
Selamat duet Jenderal Andika dan Dudung untuk NKRI yang makin solid. Pembersihan dengan segera dan tegas layak dilakukan.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H