Pegawai Pajak Ditangkap KPK, Kurang Gaji?
Remunerasi pegawai Kementerian Keuangan menjadi prioritas. Gaji mereka menjadi sangat besar, dibandingkan dengan pegawai kementerian lain. Pemikiran dasarnya adalah gaji kurang, sehingga berpikir untuk mencari obyekan dan maling.
Melihat perjalanan waktu, terutama berkaitan dengan pajak, anggaran, dan model keuangan bukan mengenai gaji kurang. Ini masalah mental kere, maling, dan tidak merasa cukup. Pribadi model demikian, mau diberi upah, gaji, bonus, dan reward berapapun masih akan tetap mencari-cari celah untuk maling dan mengambil keuntungan.
Mengapa terjadi demikian?
Mentalitas kere. Susah dibangun pola pikir dan pola tindak, merasa cukup dan tidak bersikap kere. Orang yang memiliki mutu kere, ini bukan soal penghinaan pada kelompok miskin, bukan. Namun, siapapun yang memiliki mental kere, akan mengupayakan apapun demi mendapatkan keuntungan, termasuk dengan cara-cara yang tidak patut.
Ini mengenai sikap dasar, karakter, dan sudah mengarah pada budaya. Bagaimana elit pun banyak yang memiliki mental ini. Selalu mengeluh kurang, namun gaya hidupnya selangit. Hal ini hampir terjadi dalam seluruh lapisan masyarakat, dari ekonomi sulit hingga tingkat paling tinggi, elit negeri ini.
Nggrangsang. Rakus, tamak, dan tidak pernah merasa cukup. Konon seperti orang yang minum air laut, selalu kurang dan kurang terus. Lagi-lagi ini sikap, yang perlu kesadaran dan kemudian mau apa dengan model yang demikian.
Tanpa au tahu akar sikap yang ada di masyarakat, susah untuk diperbaiki. Mau gaji berapapun akan selalu merasa kecil dan kurang.
Penghormatan akan materi. Orang dihargai karena kekayaannya, bukan etos kerja, prestasi, apalagi kejujurannya. Anak-anak mungkin malu bapaknya gaji kecil karena temannya diantar sekolah pakai mobil mewah, padahal hasil curian, atau maling anggaran.
Di tengah masyarakat juga demikian. penghargaan atas kemewahan, mobil mewah, motor sport, rumah megah, pakaian bermerk menjadi sebuah obsesif. Kalau tidak mampu yang asli, Kw-nya juga diburu.
Lihat saja mentalitas demikian, sehingga merembet ke mana-mana dengan membeli ijazah, gelar, dan segala sesuatu yang bisa dibeliakan dibeli karena bisa meningkatkan citra diri di tengah masyarakat.
Gelar berderet, namun isinya nol besar. Lha gelar bangsawan keraton saja diperjualbelikan, ijazah dan gelar akademik apalagi. Padahal darah yang mengalir itu yang membawa gelar, sama juga ilmu dan pengetahuan yang dimiliki yang memberikannya gelar untuk diakui. Toh bisa dibeli dan orang menghargai itu.
Malu yang tidak pada tempat dan konteksnya. Orang itu malu kalau maling, melanggar hukum, namun beda dengan masyarakat bangsa ini. Maling saja masih cengengesan, merasa diperlakukan tidak adil, mencari-cari pembenar dengan ayat-ayat suci.
Malah seolah bangga dengan keberadaannya yang disorot kamera sebagai kriminal namun malah merasa pahlawan dan pejuang yang sedang dibuang karena keberaniannya melawan penjajah. Ini kan naif. Bagaimana konsep benar-salah, baik-buruk saja ngaco tidak karu-karuan.
Malu miskin kemudian berjuang keras untuk mengubah keadaan itu bagus. Acungi jempol, namun bukan kemudian menggunakan segala cara, bahkan jalan yang buruk dan salah pun dibenarkan demi memperbaiki keadaan.
Agama semata label, belum jalan hidup. Masih berkutat pada label, hapal dan ritual, bukan amalan dan laku kebaikan. Lihat saja sudah ketangkap KPK karena maling kemudian menyitir ayat-ayat suci untuk memberikan seolah-olah itu hanya kecelakaan, dan kehendak Tuhan.
Ini memfitnah Tuhan. Yang membuat kalian maling itu iblis yang kamu izinkan, kog malah menyalah-nyalahkan Tuhan. Kurang ajar, namun malah mendapatkan simpati, karena keblinger dan mabuk agama. Pemahaman agama yang sangat dangkal.
Pendidikan. Proses dan perjuangan dipangkas dan menjadikan ujian sebagai tujuan akhir. Pokok lulus, entah bagaimana caranya. Nilai bagus menjadi jalan ke mana saja, padahal mendapatkan nilai tinggi dengan menyontek, membeli bocoran soal, dan sejenisnya.
Dunia pendidikan silakan datang dan dengarkan keluhan dan cerita para uru mengenai keberadaan pendidikan bangsa ini. Begitu banyak permasalahan, termasuk potong kompas, budaya instan, dan jual beli nilai dan predikat itu hal yang bias.
Termasuk di sini adalah, jual beli gelar, suap dan kolusi untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Hal yang lumrah dalam dunia pendidikan kita. Bagaimana mereka mengajar jika perilakunya sendiri demikian.
Keteladanan. Â Generasi muda kadang secara tidak langsung dididik dengan perilaku demikian itu. Merasa bahwa cara itu benar dan tidak apa-apa. Jadi, kesalahan komunal yang diulang-ulang, jadi menjadi bingung mau mengikuti yang mana.
Elit apalagi, jangan pernah bicara hal demikian, ketika berbicara ranah etis, moral, dan kebenaran pada kalangan mereka. Satu saja fokus kelas itu, kekuasaan yang akan mengantar pada uang dan materi melimpah.
Benar salah, baik buruk saja sumir. Ini sudah kacau. Memang ada sebagian pihak yang menghendaki negeri ini kacau. Pendidikan dan budaya dirusak, seluruh bangunan negeri ini runtuh. Peran agama harus kembali pada gerakan moral, bagaimana sekarang lebih banyak berpolitik praktis yang sehatinya sangat tidak elok.
Pendidikan juga lebih politis, ketika jabatan pendidikan berkaitan dengan tim sukses dalam pemilihan kepala daerah. Ini masalah yang sangat penting namun terabiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H