Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Roy Suryo, Piala Thomas, Politikus Gaduh, dan Prestasi Olah Raga

18 Oktober 2021   15:38 Diperbarui: 18 Oktober 2021   15:42 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piala Thomas: Tribunnews.com

Piala Thomas, Roy Suryo, Politikus Gaduh, dan Prestasi Olah Raga

Piala Thomas kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi usai menanti hampir dua dasa warsa. Biasa, langsung para politikus berlomba-lomba ikut-ikutan nimbrung. Identik dengan capaian Gresya dan Apriani merebut emas olimpade beberapa waktu lalu. Mereka yang mungkin kenal dan mau tahu saja tidak, mendadak membuat ucapan selamat dengan gambar mereka lebih gede dan menonjol.

Kini, Piala Thomas yang bisa direbut di tengah keadaan yang tidak cukup optimis, lagi-lagi mereka meributkan mengenai bendera Merah Putih yang tidak berkibar. Fokus pada hal yang jelek. Selalu saja demikian.

Kisah lebah dan lalat ternyata masih sangat kental bagi politikus kita. Bagaimana khabar bahagia itu ikutan   mengerumuni. Si lalat juga, selalu mencari-cari kelemahan dan kejelekan dari yang ada. pilunya, mereka ini kog ya sama Demokrat.

LADI, lembaga yang tiba-tiba menjadi tenar. Padahal selama ini mungkin mayoritas masyarakat dan juga pejabat banyak yang tidak tahu. Mendadak, sontak semua pada merasa lebih nasionalis dan malah menuding pemerintah, menpora, atau siapa saja asal bisa mendapatkan point untuk pemilu mendatang.

Demokrat, maaf kalau benar, selalu paling duluan menglaim dan ikut serta dalam  prestasi pihak lain. Contohnya ketika emas olimpiade diperoleh. Baik-baik saja sih, tidak ada yang salah. Masalahnya adalah etis. Ketika gambar mereka, kakak-adik elit partai mercy itu lebih gede dari si pemenang yang banjir keringat di lapangan.

Apa sih sumbangsih mereka pada capaian emas itu? Minim. Eh mendadak ikutan tenar. Mengapa demikian? Ya karena tidak cukup memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Ikutan di sana, sudah lebih cari cukup.

Padahal mengucapkan dan ikut bergembira, tanpa menampilkan mukanya, dominan lagi,  pun publik akan ingat. Tapi ya itu tadi, karena minim capaian, biasa ikut-ikutan di dalam rengkuhan pihak lain.

Eh sedang membuat tulisan ini, kog ya datang lewat lini massa kalau ketum partai sempat menang pemilu itu ikutan lagi pada gelaran Thomas. Lagi-lagi ucapan selamat namun dompleng pamer diri.

Apa ya kurang panggung to mereka ini. Ketua umum partai  sudah di tangan. Media beberapa sudah menjadi corong, mendeskreditkan buzzer toh menggunakan juga jasanya.

Berbeda dengan sang ketua umum, bekas kader namun masih sejalan dengan partai besutan SBY ini, Roy Suryo, menyoal mengenai bendera merah putih yang tidak berkibar. Benar, bahwa itu karena ada yang lalai, namun jangan sampai bahwa prestasi yang sudah sekian lama hilang itu kemudian kalah karena masalah di luar teknis itu.

Ada kelalaian iya, namun apresiasi juara itu harus lebih besar. Simbol kemenangan itu jangan sampai malah menenggelamkan capaian besar hanya karena kepentingan politik sekelompok pihak. Susah memang jadi Jokowi.

Ternyata ada pula yang mengaitkan itu dengan investasi negeri China, dan mengalah pada tim Indonesia. Sama ngaconya dengan pemikiran elit negeri yang mengaku oposan, namun sejatinya pokok berbeda dengan pemerintah.

Prestasi itu buah perjuangan panjang. Menyaksikan perjuangan sejak pertandingan awal sudah membuat miris. Bagaimana dengan tim yang sangat biasa, pengalaman juara piala Thomas mereka belum pernah, namun sudah membuat repot.

Pemain-pemain andalan malah tumbang. Untung pada posisi krusial mendapatkan kemenangan. Final dengan skor kemenangan telak sejak awal malah membalik dari apa yang diraih pada babak penyisihan. Kemenangan tipis dan tragis pada babak-babak awal malah berbuah manis.

Politik ndompleng sih silakan saja, namun janganlah dengan menyulut kejengkelan dan membuat emosi. Yang esensial malah ditinggalkan demi kegaduhan.

Negeri ini sejatinya tidak kurang prestasi dan capaian bagus di mana-mana. Hanya saja kurang mendapatkan perhatian karena sikap egoisme elit yang biasa menjadi pusat perhatian. Ini sikap feodalisme dan kenakan-kanakan yang hinggap pada badan dan tubuh manusia dewasa.

Kealphaan itu untuk diperbaiki, bukan malah dijadikan bahan politis. Jika benar-benar demi kebaikan negara, pastinya tanpa perlu memojokkan pihak-pihak yang jauh dari kaitannya bahkan.  Menpora bisalah dijadikan terdakwa, namun sangat berlebihan jika mengatakan pemerintah, apalagi presiden.

Ke mana sih selama ini, ketika krisis prestasi. Gagal lagi, kalah lagi, mereka juga tidak terlihat apalagi terlibat kog. Capaian ini juga sama sekali tanpa peran mereka, mengapa ketika berhasil ikut nampang. Mencari-cari kesalahan dan kekeliruan untuk menurunkan kadar sukses.

Demokrat khususnya, Jokowi sudah tidak akan bisa dipilih lagi. Gantilah tema dan sasaran untuk pansos. Sia-sia, selama ini melakukan apa saja demi merontokkan Jokowi. Padahal yang penting adalah menngokohkan AHY. Cara dan sistem yang keliru, namun terus saja dilakukan.

Politik gaduh itu ya ibarat tong kosong berbunyi nyaring. Padahal banyak hal dan cara yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan citra baik. Sayang, bahwa mereka lebih memilih meniadakan pihak lain demi eksistensi diri.

Selamat untuk Tim Piala Thomas.  Capaian luar biasa.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun