Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Keluarga Alex Noerdin, Mengeroyok Maling, dan Pinter Keblinger

17 Oktober 2021   21:35 Diperbarui: 17 Oktober 2021   21:50 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maling: Tibunnews.com

Belajar dari Keluarga Alex Noordin, Mengeroyok  Maling, dan Pinter Keblinger,

Sebulan lalu Alex Noordin ditangkap Kejaksaan Agung karena maling.  Kemarin anak kandungnya, Dodi Reza, Bupati Musi Bayuasin tertangkap tangan, OTT KPK karena maling juga. Kompas menuliskan kisah keren dan cerdasnya Dodi Reza Alex Noordin, baik sebagai pemimpin daerah, juga selaku mahasiswa.

Lulusan terbaik dari Belgia, mendapatkan beasiswa, dan doktor berprofesi sebagai  dosen. Komplit, gelar mentereng, akademisi pula. Apa yang terjadi memperlihatkan  bahwa pendidikan bukan jaminan tidak akan maling berkrah putih ini. Toh banyak  yang berpendidikan tinggi lainnya juga melakukan hal yang sama.

Kemiskinan, sering dituding menjadi penyebab maling. Kadang benar, namun untuk maling kelas ini berbeda. Bagaimana kekayaan anak Alex Noordin ini mencapai 38 M, bukan main lho. Toh masih juga maling. Bapaknya pasti lebih gede lagi kekayaannya. Selain lebih senior, ia juga gubernur dua periode, anggota DPR RI lagi.

Peristiwa sangat tragis tentu saja bagi keluarga besar Alex Noordin, namun bagi hidup berbangsa, ada hal yang sangat baik, bagaimana itu terjadi. Beberapa hal yang layak dicermati adalah,

Kolaborasi Kejaksaan Agung, KPK, dan jika perlu terlibat juga Bareskrim, harapan maling berdasi jauh berkurang sangat mungkin. Ketiga lembaga ini sinergi, tidak malah bersaing, namun bekerja sama untuk  mengeroyok maling.

Lha maling jemuran saja dikeroyok massa, bagus kan kalau maling uang rakyat juga dikeroyok oleh penegak hukum. Tidak saling bersaing dan melindungi atas nama korps, namun demi bangsa dan negara.  Harapan rakyat jelata bukan keinginan elit yang memiliki jabatan tentu saja.

Semua kalangan, lapisan masyarakat, mau bodoh atau pinter, tidak berpendidikan atau yang sudah sangat kenyang bangku kuliah, sama saja perilakunya untuk maling. Awam yang tidak paham agama, sampai  yang sangat mahir dengan ayat suci masing-masing juga terlibat dalam maling berkerah ptih ini. Artinya tidak ada bedanya.  Siapapun potensial maling.

Gaya hidup masyarakat bangsa ini cenderung bermewah-mewah, dan pada sisi lain tidak  peduli asal-usulnya dari mana. Jangan kaget, pesugihan, maling, preman, dan rampok pun tidak malu-malu. Lihat saja keluar dari gedung KPK malah kek artis pakai melambaikan tangan, senyum cerah.  Maling saja tidak malu.

Penghargaan pada kekayaan, bukan asalnya dari mana. Sama juga dengan aktivitas pendidikan. Kebanggaan adalah masuk sekolah favorit, padahal menyuap demi bisa masuk ke sana. Pokok lulus dengan nilai tinggi, meskipun nyontek. Ini difasilitasi lho. Pendidikan saja sudah demikian, hal yang wajar ketika model yang sama di mana-mana terjadi.

Orang yang bekerja keras, hasilnya kecil, itu sering menjadikan orang minder. Ada pengemis sehari mendapatkan Rp. 200.000,00 mengeluh sepi. Padahal pekerja lain belum tentu mendapatkan separonya. Ini lagi-lagi faktual, dan mengeluh tanpa merasa malu.

Hukuman yang sangat ringan. Bagaimana desas-desus pelaku maling masih menjadi raja di penjara. Lagi-lagi ini adalah demi gaya hidup orang tidak mau melanggar sumpah jabatan. Ketaatan pada azas dan konsensus sangat rendah.

Kurungan saja bisa dipermainkan. Jangan harapan hukuman sosial dan pengucilan misalnya. Sangat tidak akan mungkin, wong pelaku maling beginian bisa membeli hukuman apalagi hanya orang.

Utopis banget mungkin kalau berharap ada hukuman tambahan dengan pemiskinan atau hukuman mati. Ini lingkaran setan. Penegak hukumnya saja masih belum sepenuhnya juga memahami taat azas, masih berpikir, kepentingan diri dan lagi-lagi juga soal gaya hidup. Masih mau  hidup mewah.

Pendidikan yang sangat mendesak untuk diatasi dengan sangat serius. Bagaimana bisa suap dan menyontek sangat membudaya di sekolah. Apa bisa menyadarkan ketika mereka menjadi pejabat karena sudah terbiasa potong kompas dengan membeli proses dan memenangkan kompetisi dengan curang.

Susah berharap dari peradilan apalagi perundang-undangan. Produk politik yang dihasilkan oleh partai politik yang sama-sama korup dan busuk. Mana bisa mesin soak menghasilkan produk premium. Ini masalah sangat serius dan krusial.

Masalahnya kekuasaan masih tergantung partai dan masih juga kacau soal keuangan. Lihat saja maling-maling itu berasal dari sana. Bagaimana mereka mau menyediakan tiang gantungan untuk diri sendiri.

Peran agama. Susahnya lagi, abai soal moral. Mereka cenderung mencari aman. Tidak jarang mereka adalah penasihat spritual dari maling ini. Gaya hidup mereka juga tidak jarang bermewah-mewah. Bagaimana mereka bisa menyuarakan kebaikan dan menyerukan pertobatan, ketika mereka sendiri terjerat dengan paradigma yang sama.

Tabiat buruk lainnya adalah iri dan dengkin. Karena tidak mampu kemudian menyebarkan isu. Kalangan elit menghajar pekerja keras. Pejabat yang melakukan tanggung jawabnya malah dimusuhi. Yang tidak ngapa-ngapain malah lancar dan didiamkan saja.

Maling berdasi konon kejahatan luar biasa. Penangannya malah sangat biasa, malah di bawah standar. Gaya hidup yang pokok  glamor, suka atau tidak menjadi teladan bagi masyarakat.

Lebih memilukan, gaya feodal ini masih banyak yang mempertahankan dan bersikukuh untuk tetap demikian. Maling  malah terhormat.

Harapan tidak boleh pudar. Perubahan memang masih jauh dari semestinya. Tetapi bukan berarti sudah kiamat. Semua perlu kehendak baik yang kuat.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun