merdeka.com
Di Balik Bapernya SBY untuk Mendukung Prabowo
SBY dan Demokrat sepanjang periode kedua pemerintahan Jokowi ini sangat  galak. Jelas berfikir untuk mendapatkan simpati untuk 2024 mendatang.  Sebuah upaya politik yang wajar. Toh apa yang terjadi hari ini, juga tidak terlepas dari kisah dan pilihan masa lalu. Gelaran pilpres membawa pembeda.
Beberapa waktu lalu, pada media sosial ada yang berbagi kala SBY selaku Presiden RI dan Jokowi menjabat Gubernur DKI, ada dalam satu momen, bagaimana sikap SBY dan Jokowi dan tanggapan rakyat. Tidak memuji atau memojokkan yang lain. Ini soal pilihan dan gaya kepemimpinan.
Belum lama ini, kembali momen yang identik, Jokowi selaku Presiden RI bersama Ganjar Pranawa selaku Gubernur Jateng berhadapan dengan rakyat. Gaya yang identik mereka berdua, dekat, tanpa jarak, dan bersama rakyat. Tak hendak membandingkan dengan yang kisah pertama, karena ini adalah gaya kepemimpinan.
Semua juga tahu dan paham ada di mana posisi SBY dan Demokrat pada dua gelaran pilpres. Mendukung Prabowo. Mengapa bukan menjadi penyokong Jokowi? Kira-kira demikian,
Pertama, ia paham dengan baik siapa dan seperti apa Prabowo. Sama-sama dari Akmil dan satu angkatan lagi, jelas tahu pake banget Prabowo di dalam memimpin negeri ini. Tidak akan  jauh berbeda dengan gaya, style, dan cara ia mengelola negeri ini. Artinya, semua tahu sama tahu, pada jalan yang sama, tidak akan membuka apa yang terjadi dengan sendirinya.
Hal yang wajar, karena pola kepemimpinan dari kawah Candradimuka yang sama. Ilmu dan pengalaman juga relatif mirip. Malah monceran Prabowo, tentu beda kasus dan bukan menjadi pokok pembicaraan artikel ini siapa dan mengapa Prabowo lebih moncer.
Kedua, ia, SBY juga paham dengan baik bagaimana Jokowi itu di dalam mengelola Solo dan Jakarta. Ia presiden pasti tahu rekam jejak dan laku pemerintahan kota dan provinsi itu seperti apa. Nah, kan bisa berabe jika orang yang memiliki gaya kepemimpinan dan gaya membangun bertolak belakang demikian menggantikannya.
Ketiga, SBY tahu apa yang dilakukan Jokowi itu sebenarnya ia bisa. Namun karena gaya memimpin yang ia pilih, membuatnya susah untuk melakukan semuanya dengan cepat, tegas, dan selesai dengan semestinya. Apa yang SBY lakukan itu ya memang itu yang ia mampu karena berkaitan dengan poin keempat.
Keempat, satu lawan berlebih, 1000 kawan kurang. Nah ini, posisi pemimpin itu tidak akan mungkin menyenangkan banyak pihak. Ingat ini dunia. Mau bagaimana lagi. Contoh BBM dan subsidi, karena tidak mau namanya jelek, tidak tega, akhirnya menjadi-jadi. Â Karena pilihan sikap dan falsafah hidupnya demikian.
Termasuk ketika harus berkelahi menghadapi mafia. Apa SBY tidak tahu dan takut? Kalau takut mungkin tidak, namun karena tidak mau menambah musuh. Susah jika demikian, tetapi toh itu pilihan Pak Beye, ya sudah.
Kelima, pembangunan yang masif membuatnya malu. Mengapa hal yang bisa juga ia lakukan tidak dikerjakan. Paham dengan baiklah apa dampak dan apa itu manfaatnya bagi bangsa dan negara. Tuh lihat komentar anaknya, hentikan pembangunan infrastruktur untuk penanganan pandemi. Artinya kan paham bahwa itu akan membuat citra Jokowi makin moncer. Biasa sikap malu ditutupi dengan arogan, sikap manusiawi pakai banget.
Keenam, entah lari ke mana slogan seribu kawan kurang, ketika ia malah cenderung menciptakan permusuhan pada Jokowi dengan seluruh barisan pendukungnya. Ini tidak main-main, bukan semata satu lawan, namun puluhan juta yang akhirnya menjadi "lawan".
Belum lagi dengan kubu Moeldoko dan kawan-kawan. Berapa saja kader yang dipecat dan menjadi barisan sakit hati. Ini menjadi lawan lho, bukan hanya satu Pak Beye.
Entah mengapa Pak Beye kog menjadi seperti itu, karena kata lagu Anang, separoh jiwaku pergi. Dampak yang demikian besar, tanpa Pak Beye antisipasi. Usai Ibu Ani meninggal terkena padai yang luar biasa, dan semua di luar kapasitas Pak Beye. Tampil penuh emosional, tidak terukur, dan menyerang sana-sini.
Ketujuh, sialnya lagi Pak Beye itu digantikan Jokowi yang pekerja keras, tidak kenal kompromi, dan apa yang dipilih itu bertolak belakang. Sama juga permainan jungkat-jungkit, satu naik, pasti yang lain turun. Ini kan cilaka 13 bagi Pak Beye. Padahal sejatinya hal yang biasa saja sih. Masalahnya adalah sifat baperannya itu.
Untungnya adalah Jokowi itu sabar dan tidak peduli dengan model serangan demikian. susah membayangkan jika sama-sama model baperan berabe. Negara tidak berjalan karena dua presidennya berkelahi dan bertikai berebut pengaruh. Â Kan ribet jika demikian.
Bagus untuk rakyat dengan gamblang menilai, pemimpin dan kepemimpinan seperti apa sih yang layak untuk ke depan. Keduanya menampilkan wajah yang bertolak belakang. Jadi bisa menjadi cermin, oh ini pemimpin yang pas untuk negara ini bisa menjadi negara besar.
Artikel ini tak hendak merendahkan Pak Beye dan meninggikan Pak Jokowi, namun  mengulik realitas yang ada. Fakta  dan data yang ada di depan mata.
Terima kasih dan Salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H