Di Balik Isu Kebocoran Data Presiden Jokowi Karena Applikasi PeduliLindungi
Beberapa waktu lalu marak adanya pembicaraan soal konon data dan sertifikat vaksin Presiden Jokowi bisa diakses oleh seseorang. Heboh, dengan berbagai cara dan upaya, pokoknya applikasi ini lemah, buruk, dan seterusnya.
Saling tuding dan kecam berseliweran. Ada pula yang mengaitkan dengan pencopotan salah satu menteri. Biasa, perilaku orang yang sukanya kekuasaan. Fokusnya pada kursi bukan soal kinerja. Lha buktinya waktu bekerja juga tidak menghasilkan yang cukup berdampak.
Pandemi ini seolah menjadi jalan politikus minim prestasi untuk mencari panggung dan mendapatkan keuntungan. Demokrasi sudah berjalan, ternyata perilaku politikusnya masih sama saja. Â Maunya menang dan berkuasa terus, takut kalah lagi.
Pemilihan antara lockdown atau pembatasan jai hiruk pikuk. Vaksin sama saja. Minta gratis, disanggupi gratis masih ribut lagi. Memang demokrasi gaduh yang dihidupi elit negeri ini.
Jelas-jelas pandemi. Salah satu upaya untuk mengurangi penyebaran dengan jaga jarak. Tapi apa yang dilakukuan oposan dan barisan pencari kursi? Demo yang tidak jelas alasannya. Hanya dicari-cari demi membenarkan nafsu mereka sendiri.
Isu vaksin yang tidak efektif lah, vaksin dari Chinalah, bahkan ada isu pemasukan chip dari vaksin, susah dan tarik ulur soal vaksin, itu semua juga cenderung politis. Maunya negara kacau karena pandemi.
Vaksin ternyata berlangsung lebih cepat karena sinergi peran orang dan lembaga yang dinaungi pejabat waras. Isu agama ataupun kesehatan tidak cukup berdampak. Â Negara lain sampai bertanya bagaimana Indonesia yang segede ini, tidak punya pabrik vaksin namun relatif cepat. Sangat wajar, kalau oposan dan barisan gila kursi mulai meradang dan mencari-cari celah.
Aplikasi yang bertujuan sangat luas itu pun menjadi bahan gorengan. Â Lagi-lagi yang main juga itu itu saja. Mengapa aplikasi ini menjadi heboh?
Karena pengendalian pandemi covid 19 bukan semata manual dan membutuhkan kerja keras manusia. Kini semua terkendali secara digital. Susah mau mengelabui teknologi. Bangsa ini cerdas untuk mengutak-atik sehingga bisa mendapatkan keuntungan sendiri. Jika ini bisa berhasil dengan baik, jelas penanganan pandemi sangat cepat selesai. Kehendak mereka tidak tercapai dong.
Nah, ada saja ulah untuk merecokin ini. Katanya aplikasi ini begini dan begitu. Untung pemerintahan ini tahan banting. Di bawah kendali presiden koppig, semua tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Pun keadaan buruk pandemi ini makin susah, ketika maling masih berkeliaran dan membuat ulah macam-macam. Satgas tagih pengemplang BLBI bekerja keras dan jelas yang tersasar orang yang relatif sama lagi dengan para oposan dan pengharap kursi kekuasaaan.
Kolaborasi yang selalu merecokin pemerintah mendapatkan tambahan amunisi kejengkelan. Mendapatkan momentum lagi, kala sertifikat atas nama Joko Widodo bisa diakses oleh pihak lain. sumber data terbuka, bagaimana NIK diperoleh dari sumber resmi terbukan data KPU, dan tanggal pelaksanaan vaksin jelas diwartakan oleh media dengan sangat luas.
Lagi-lagi jadi bahan gorengan yang luar biasa masif. Padahal sertifikat yang mau dicetak yang konon berbahaya itu, apa pada lupa begitu banyak persyaratan yang meminta photo copy KTP. Bahaya sekian lamanya seolah tidak apa-apa. Mendadak jadi begitu bahaya karena sertifikat vaksin.
Kemarin, salah satu media memberitakan, Menkes menyatakan bahwa 3000 orang lebih mengidap positif corona namun mau masuk mall. Ada 43 orang positif terdetiksi di bandara, 63 orang calon penumpang kereta api, dan 55 lainnya saat hendak memasuki restoran. Karena applikasi PeduliLindungi, mereka ini ketahuan bahwa tidak bisa memasuki kawasan umum tersebut.
Bisa dibayangkan, jika tidak ada aplikasi tersebut, hanya mengandalkan pengecekan suhu tubuh, sangat mungkin temperatur badan itu normal. Ingat, banyak orang itu tanpa gejala, termasuk tidak demam, ternyata positif.
Bagaimana  jadinya, jika 3000 orang itu lolos dan jalan-jalan di dalam mall dengan sirkulasi udara sangat minim tersebut bersama-sama dengan orang-orang lain yang sehat namun rentan? Satu saja menular sampai lima orang sudah ada potensi 15.000 pengidap baru. Apa sih yang kita pelajari dari sini?
Pencegahan penyebaran itu susah karena orang keras kepala, ngeyel, mengedepankan hak dari pada kewajiban. Benar sudah dua tahun sumpek, lha emang hanya kalian yang sumpek? Â Semua orang mengalami, toh bisa menahan diri. Aneh, menuntut hak tidak mau tahu kewajiban menjaga kesehatan diri dan lingkungan.
Politikus minim prestasi membuat ulah, isu, dan narasi pokok e. Pemerintah kudu salah, lemah, keliru, dan harus diganti. Padahal mereka ini ide saja sudah salah, apalagi kalau benar-benar melakukan tindakan dalam kondisi serba luar biasa seperti ini.
Seandainya saja, elit itu mau menahan diri sedikit, bekerja sama untuk mengatasi pandemi. Keadaan jauh lebih baik. Dengan direcokin barisan sakit hati, ideolog ngawur, dan mabuk agama saja bisa seperti ini. Untung Jokowi yang memimpin. Tidak bisa dibayangkan jika presidennya lemah dan mudah ditakut-takutin.
Namun apa daya, masih banyak orang mikir demi diri, kelompoknya, bangsa dan negara semata alat. Ini semua memang harus dihadapi dengan tabah. Menerima masih banyak elit bocah yang tamak dan rakus soal kuasa dan uang. Identik dengan maling anggaran yang susah diatasi ya karena penyakit ini.
Toh tidak boleh pesimis. Harapan tetap kudu digelorakan, keadaan akan lebih baik. Biar saja si tamak nanti seperti tikus mati di dalam lumbung, karena kekenyangan. Tamak yang merusak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H