Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Belajar Moral dari KPI, Artifisial atau Esensial

4 September 2021   20:30 Diperbarui: 6 September 2021   18:15 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sumber: Laman Media Sosial KPI via Kompas.com

KPI sedang dalam sorotan, terutama pegiat media sosial. Kisah-kisah yang terjadi pada mereka, atau terkait dengan lembaga ini, atau yang berupa kebijakan. Cukup heboh dan mengherankan bisa demikian. Mereka selama ini demikian keras menertibkan hal-hal yang berkaitan dengan tayangan kesusilaan. Sampai-sampai orang berenang pada arena olimpiade dikaburkan.

Perlu kita cermati beberapa hal sebagai berikut;

Pertama, mengenai laporan kepolisian dan ke Komnas HAM mengenai pelecehan seksual dan perundungan yang dialami salah satu pegawai laki-laki di lembaga KPI. Pelaku yang menjadi terlapor juga laki-laki di kantor yang sama. Cukup memilukan karena sudah bertahun-tahun terjadi.

Kali ini adalah laporan kepolisi kali kedua. Tentu saja laporan internal pastinya ada. Susah meyakini jika laporan kepada pimpinan tidak ada. Tindak lanjutnya itu penting, mengapa sampai terulang, dan masih berlangsung bertahun-tahun? Apakah hanya satu, atau itu sebuah kebiasaa?

Kedua, perayaan keluarnya eksnapi, artis Saiful Jamil. Kasus yang menjeratnya mengenai kesusilaan. Namun media menyiarkan penyambutan bak kepulangann atlet olimpiade mendapatkan medali emas.  Pawai, arak-arakan, dan di tengah pandemi. KPI memang tidak berwenang soal arak-arakan di jalan. Namun penyiaran medianya adalah ranah KPI.

Anak-anak yang menonton, bisa menyimpulkan, enak ya jadi napi, tahanan, pulang disambut dan dielu-elukan. Atlet capek belum tentu mendapatkan medali. Kan cilaka. Ini pemikiran yang sama dengan pemikiran kala berkaitan dengan pornoaksi.

Ketiga, berkaitan dengan kata terakhir di atas. Sering KPI menyoal media karena berkaitan dengan porno-pornoan. Mengenai hoax, intoleransi, kekerasan, dan penistaan pada pejabat negara luput dari amatan mereka.

Beberapa hal yang perlu disegarkan untuk ingatan publik adalah; pemburaman bagian dada dari film animasi Minion. Ini bukan gambaran manusia dengan detail badan yang benar-benar manusia. Hanya sebuah kapsul, dengan mata dan mulut. Itu saja tetap diburamkan.

Teguran film penjaga pantai perempuan. Lha salahnya apa sih bikini bagi penjaga pantai? Berbeda jika mengenakan bikini di area publik yang bukan pantai atau kolam renang. Di pertokoan atau mall misalnya. Ini sih bisa dilakukan.

Apa yang terjadi dari kisah-kisah faktual di atas, dapat diperkirakan kemampuan KPI itu seperti apa. berikut gambaran yang sangat mungkin terjadi di sana;

Satu, konsep dan gambaran idealnya tahu namun semata pada tataran gagasan, ide, dan belum membumi. Bayangkan, apa korelasi film Baywatch dengan membuat anak terpengaruh secara seksual? Atau animasi minion diblur? Benar sebagai upaya membentengi anak-anak dari aksi pornografi.

Eh ternyata, di bagian inti mereka sendiri, terlibat di dalam pengelolaan seksualnya sangat buruk.  Perundungan, maaf sampai oret-oretan pada alat kelamin. Lah apakah karena mereka melihat minion telanjang? Jadi kemudian ngerjain temannya?

cnn.com
cnn.com
Mereka menjadi penjaga moral seksual, namun ternyata sekaligus predator. Melakukan pelecehan seksual pada rekan sejenis pula, sudah dobel masalahnya. Nah, apa iya konsep ideal komisi ini bisa dieksekusi dengan baik dengan model pegawainya yang demikian?

Dua. Sama dengan maling alias korupsi. Mereka gembar-gembor soal pornografi dan pornoaksi, namun perilaku mereka seperti itu. Saya jauh lebih yakin  apa yang dikeluhkan oleh korban. Tentu bukan dalam artian mengabaikan azas praduga tak bersalah.

Sama dengan para maling anggaran itu. Mereka tahu dan paham namun juga masih melakukan. Kalau ketahuan dianggap sebagai apes semata. Hampir semua lini menghadapi persoalan yang sama. Munafik.

Tiga, membedakan yang esensi dan artifisial saja tidak bisa. Lagi-lagi identik dengan maling alias korupsi. Tidak semata mengenai aturan, jauh lebih dalam adalah tidak mau mengambil yang bukan haknya. Kan selesai, tidak usah banyak aturan apalagi ancaman. Namun kesadaran.

Maling itu bukan soal gaji terlalu kecil. Sama juga kekerasan atau pelecehan seksual tidak hanya karena melihat tayangan yang terbuka. Itu terlalu naif dan mempersempit persoalan.

Terlalu heboh ada hal yang artifisial, tidak penting, namun dianggap yang paling penting dan  harus demikian. kisah-kisah yang akan terus terjadi. Pemaknaan yang gagal,  karena sikap  kritis yang lemah.

Kesadaran, ini menyangkut pendidikan dan pengamalan agama. Miris pelaku mau korupsi, predator seksual, sangat mungkin juga beragama. Ada yang taat dengan sangat baik pada ritual dan tuntutan agama, namun di luar aktifitas agama menjadi hal yang tidak sederhana. Maling masih merasa baik-baik saja, jelas soal iri sendiri lebih dulu,

Penegakan hukum yang masih lemah, terkadang tebang pilih, membuat orang tidak perlu taat hukum. Meterai 10.000, minta maaf karena khilap. Ujungnya juga dilepas, hukuman sangat singkat, dan perulangan terjadi dengan sangat masif.

Masalah dalam banyak segi hidup bersama. Mengedepankan yang tidak penting dan lebih heboh, dan malah mengabaikan yang mendasar. Pendidikan memegang peran penting di sini.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun