Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golkar dan Wacana Airlangga-Jokowi, Etis dan Legalitas

20 Agustus 2021   18:40 Diperbarui: 20 Agustus 2021   18:46 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
media indonesia.com

Usai wacana Jokowi tiga periode mentah dan kini senyap. Sebelumnya pernah ada gagasan memerpanjang masa jabatan presiden, terlalu dini untuk kemudian lenyap. Semua mentah.

Tiba-tiba menjamur baliho, ketua DPR dan para ketua umum partai seolah menampilkan citra untuk pemilihan 24. Rilis dari beragai lembaga survey ternyata tidak menjawab bahwa "perang" baliho itu tidak cukup memberikan dampak.

Memang ada beberapa hasil survey yang menempatkan salah satu calon kandidat dengan kenaikan signifikan. Toh itu tidak cukup meyakinkan publik jika benar demikian adanya. Malah lahirlah sebuah dagelan kalau itu sih "pesanan."

Entah apa yang ada dalam benak para politikus dan parpol ini, di tengah pandemi yang belum tampak nada-nada berakhir, malah pada asyik menampilkan diri dan keberadaannya untuk masa depan itu. Wong belum tentu juga lolos dari jebakan covid. Atau bisa saja lolos namun berakhir lebih dini sebelum tahun itu, siapa sih yang tahu?

Beberapa hal yang layak kita cermati adalah,

Penempatan Jokowi menjadi wakil presiden, ini jelas legal. Tidak ada peraturan yang dilanggar. Yurisprudensi dari pilihan kepala daerah, sudah ada yang melakukan demikian. Secara legalitas itu sangaat mungkin. Namun ada beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan, baik positif atau negatifnya.

Megawati kemarin mengatakan menangis, mendengar dan membaca, kalau Presiden Jokowi itu dimaki-maki. Dukungan yang keluar juga akhirnya menjelang tujuh tahun Jokowi dimaki-maki, termasuk kadang oleh kader PDI-P juga. Jangan takut, kami di belakang Presiden Jokowi. Hal yang patut diapresiasi, meskipun sangat terlambat, toh partai lain tidak ada.

Nah, baru dua periode, masih ada dalam tataran normal, wajar, dan sangat legal saja sudah seperti itu, apalagi kalau menambah seperti gagasan tiga periode. Hal yang identik dengan posisi ada pada wapres. Apa bedanya. Lha ketika Gibran dan Bobby menjadi calon kepala daerah saja caci maki sudah demikian ngeri.

Bagus sih, jaminan keberlanjutan itu ada. Tidak akan ada program perusakan nasional, karena pernah dan ada bukti konkret serta nyata di depan mata perilaku demikian. Pembangunan progresif 10 tahun bisa musnah hanya dalam hitungan hari, jika pemenangnya adalah dari kubu yang bertolak belakang. Apalagi memang memiliki agenda yang bertolak belakang.

Golkar kolaborasi dengan PDI-P memang cukup menjanjikan sih, Airlangga hanya menjadi simbol, lambang semata, dan semua hal ada dalam pola pikir dan pola tindak Jokowi. Hal yang baik-baik saja.  Tidak ada yang salah, namun apa ya pantas?

Sangat aneh, lucu, dan tidak patut. Sudah ada pada puncak capaian kemudian turun dengan berbagai-bagai dalih yang tidak semestinya demikian. Masih banyak cara yang bisa ditempuh. Pun banyak anak bangsa yang tidak kalah cerdas, cepat, dan keren sebagaimana Jokowi.

Buat saja aturan, perundangan di mana pemerintah itu berkelanjutan, bukan seenaknya sendiri mengubah, bahkan merusak tatanan dan juga pembangunan yang ada. Ini jauh lebih bagus, demokratis, dan jaminan yang semua mata bisa menyaksikan.

Sistem jauh lebih bermutu dari pada selalu memaksakan kehendak, memaksa harus figur ini dan itu. manusia itu terbatas. Selain demokrasi yang membatasi, juga keterbatasan manusia, kesehatan, usia, atau juga jika tidak hati-hati adalah nafsu.

Nama Jokowi baik dan bagus bahkan. Jangan sampai malah menjadi rusak karena ada pada posisi nomer dua. Pengalaman yang belum pernah ia jalani. Hal yang bisa saja sangat sulit. Melihat rekam jejaknya sih sangat mungkin tidak masalah. Namun lagi-lagi balik pada caci maki, fitnah, dan juga tudingan sangat kasar itu apa tidak bertambah-tambah.

Golkar sangat realistis. Mereka tidak punya kader yang kapasitasnya mumpuni untuk berbicara dalam level pilpres. Mereka banyak kader bagus dan berkelas, namun ya itu, segitu-segitu saja. Wapres saja susah. Krisis yang ada sejak cukup lama. Berbeda dengan kubu PDI-P yang cukup memiliki banyak stok, mau kader militan atau sekadar simpatisan.

Ada Ganjar, ada Risma, ada Ahok, yang mereka selain tenar juga pekerja keras, dan capaiannya sudah teruji dan diakui. Pun Puan jika sangat terpaksa pun masih lah bisa bersaing. Hal yang cukup bereda dengan Golkar.

Nah, jika ini benar terjadi, Airlangga-Jokowi, hampir bisa dipastikan JK-Sby ikut-ikutan maju. Mereka berdua sangat ngebet dan memang masih sangat haus kekuasaan. Jika demikian sih, demokrasi kita akan mundur kembali pada masa lalu. Manusia-manusia tua yang sudah mundur kembali maju.

Wacana di alam demokrasi sih wajar. Jauh lebih baik dari pada mengganti di tengah jalan. Kudeta, makar dengan dalih tekanan untuk mundur. Sah dan boleh-boleh saja sih meminta mundur asal alasannya juga cukup kuat dan mendasar, bukan asal sasar semata.

Layak ditunggu sih, hanya saja kelihatannya tidak jauh berbeda, layu sebelum berkembang lebih jauh. Toh Golkar juga bukan partai yang memiliki banyak basis massa militan. Sekadar guyonan di masa pandemi saja ini.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun