Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bansos Tidak Tepat Sasaran, Salah Risma atau Kita?

19 Agustus 2021   20:08 Diperbarui: 20 Agustus 2021   07:06 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu bansos sempat terhenti. Konon ada jutaan data ganda. Kerugian negara mencapai angka triliun. Hal yang lepas dari korupsi di kementerian, sudah beberapa menteri yang masuk bui karena enaknya uang negara ini.

Tadi, saat depan rumah banyak orang lalu lalang, ternyata mengambil bansos ke balai desa. Ada dua peristiwa yang sangat menarik. Di mana ada dua orang yang cukup kuat ekonominya mengambil bantuan. Biasanya mereka cukup malu, sejak sebelum pandemi. Nah, karena pandemi, muka mereka ketutup masker, jadi enak jalannya.

Keduanya itu cukup berada. Rumah permanen, pekerjaan cukup mapan, kendaraan roda dua lebih dari satu, keluarga yang lainnya malah ada roda empat segala. Tanggungan anak sekolah juga relatif tidak terlalu berat. Masih cukup mampu.

Belum lagi, jika bicara gaya hidup dan gaya berbicara. Tidak patut mengambil jatah tetangganya yang lebih membutuhkan.

Pada sisi lain, ada tetangganya yang jauh lebih berat tanggungan, pekerjaan tidak sekuat mereka, pun rumah kalah bagus, kendaraan tidak ada.

Ini fakta yang ada, tentu bukan hasil riset mendalam, hanya pengamatan sekilas. Nah, fenomena ini kelihatannya ada kog di mana-mana dan relatif sama. Pola, perilaku, dan kebiasaan yang tidak jauh berbeda.

Mengapa demikian?

Pertama, sikap mental. Merasa tidak cukup, dan paling menderita, paling kurang, dan layak mendapatkan bantuan. Sama juga ketika bantuan atau barang gratisan begitu gegap gempita semua meminta.

Kedua, sikap syukur yang rendah. Kurangnya ungkapan syukur membuat orang jadi merasa selalu kurang. Dirinya paling menderita dan layak mendapatkan bantuan. Padahal dengan syukur orang bisa selalu merasa cukup dan tidak kekurangan.

Ketiga, sikap empati dan simpati yang lemah. Jika mereka tidak mengedepankan sikap ini, pandangan mereka lebih luas, ada tetangga, sesama yang perlu dibantu. Aku, kami, lebih kuat dan ada cara yang lain, padahal tetangga itu tidak punya pilihan.

Keempat, sikap malu yang tidak ada. demi bantuan, cap miskin, kurang, dan sejenisnya tidak peduli. Termasuk mengurangi hak orang lain, merugikan negara, dan siapapun tidak menjadi pertimbangan lagi.

Kelima, abai kepentingan bersama, negara, dan yang lebih luas. Pokoke aku melupakan sikap ada yang lebih butuh, negara juga bisa dialokasikan pada yang lain. Mikir hanya aku sendiri, seberapa, kalau dikali ribuan, atau bahkan jutaan, sebagaimana data bansos ganda?

Padahal jika mau serius, dan taat azas, hal demikian amat minim terjadi. Pengawasan terdekat melalui mekanisme tetangga akan sangat efektif. Mau kota apalagi pedesaan, satu RT minimal masih sangat kenal, sangat tahu dengan baik, kemampuan ekonomi terutama.

RT memegang kendali amat ketat. Jika sungkan, takut, ada RW yang juga masih paham dengan relatif baik. Mekanisme ini jaminan, jika semua berangkat demi kebaikan bersama.

Naik ke atas lagi, ada perangkat kalau desa, kepala dusun. Mereka ini juga paham dengan baik warganya kog. Sampai kepala desa, kelurahan tinggal tanda tangan.

Naik ke kecamatan, kabupaten-kota, relatif akan sangat aman. Syaratnya itu tadi, semua taat azas, mau empati, peduli, dan melepaskan kepentingan keakuan.

Mengapa terjadi penyimpangan?

Prosedur berbelit memang sudah tercipta dan bisa jadi sengaja diciptakan sejak dulu kala. Administrasi itu kacau, antara instansi sangat tidak sinkron. Jadi ya wajar kalau memang terjadi kekacauan. Data yang dipakai entah yang mana. Itu semua sangat mungkin tidak sinkron.

Enggan kerja keras. Melakukan pendataan dengan diam di tempat, tidak benar-benar datang rumah ke rumah. Hal yang jamak terjadi, jadi, pengetahuannya mendalam dan mendasar sangat lemah.

Ewuh pakewuh. Sikap yang membuat keadaan tidak lebih baik. Karena persamaan identitas, afiliasi politik, atau masih kerabat, merasa tidak enak dan itu bisa membuat keadaan tidak lebih baik. Kondisi dan sikap mental yang demikian, sepertinya harus lebih baik, tegas, dan rigit untuk ditangani dengan segera.

Saling jegal atau menyandera. Hal yang terjadi hingga kalangan elit. Di mana semua saling memegang karti kunci untuk menaguk keuntungan masih-masing. Hal ini tidak akan memperbaiki keadaan namun malah memperparah.

Penguatan ilmu agama. Sikap malu mengambil yang bukan haknya perlu lebih digalakan. Selama ini masih sebatas hafalan, belum mengamalkan agama. Ini sikap dasar, tidak tahu malu, susah untuk beranjak.

Malah lebih memilukan, kadang kejahatan malah dilegitimasi dengan ayat-ayat suci dengan memerkosa teks dan konteks. Ini juga pada kalangan elit, lho.

Sikap empati dan peduli juga bagian dari pembinaan keagamaan. Aplikasi nilai-nilai agama, bukan semata menghapal ini dan itu. Semua itu baik, namun belum cukup.

Sikap malu mengambil hak orang lain juga perlu menjadi perhatian. Ini berkaitan dengan ungkapan syukur, bagian juga dari pribadi beragama. Pekerjaan rumah hidup beragama itu masih demikian banyak.

Padahal yang pada heboh soal pendirian atau perusakan rumah ibadah, yang sama sekali tidak bermanfaat, jika dibandingkan kebobrokan sikap mental hidup umatnya.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun