Cukup menrik apa yang ditampilkan Demokrat di dalam mencari panggung di tengah pandemi. Usai gagal maing-gagal maning dalam aneka isu dan narasi, kini mereka menyasar yang mereka labeli buzzerrp. Entah siapa yang dimaksud, tetapi era digital dan media sosial yang makin ke depan, susah ditolak, kecepatan tangan dan jari mengetik menjadi lebih unggul.
Mengira-kira, bahwa apa yang mereka labeli adalah, para pembela Jokowi, di mana nama ini adalah sasaran tembak mereka. Artikel ini tak hendak mengupas siapa buzzerrp, karena toh tidak jelas dan gamblang juga. Â Pembela Jokowi itu ada yang karena merasa gerah bahwa rival politik menggunakan hukum rimba, bar-bar, dan menggunakan segala cara.
Jokowi sebagai pribadi Jawa banget, jelas tidak akan pernah membalas, merespons, ataupun mengeluh. Kesempatan yang ada ini mereka jadikan keuntungan. Nah, lahirlah para pembela-pembela dengan aneka bentuknya. Saya yakin jauh lebih banyak yang nonbayaran, dari pada yang dibayar sebagaimana tudingan pihak-pihak yang ada pada posisi oposan dan barisan sakit hati.
Jokowi yang tidak peduli karena fokus bekerja membuat pihak-pihak itu seolah-olah menang. Padahal mereka melupakan falsafah Jawa yang ada. Itu hak mereka.
Pada sisi lain, pandemi dan merebaknya covid-19 telah mengubah banyak sekali hal yang sebelumnya masih sebatas wacana. Digitalisasi dalam banyak aspek kehidupan. Pendidikan jelas, bekerja sudah mulai dominan, perdagangan mau tidak mau, dan itu semua siapa sih yang siap? Tidak ada.
Pandemi tiba-tiba datang dan semua harus siap. Â Kominfo memegang peran penting dan krusial. Kerja lelet seperti era-era lama, rakyat dan bangsa yang menjadi korban. Syukur bahwa semua itu bisa terkendali dan berjalan dengan baik, lancar, dan relatif tidak menjadi kendala. Kerja keras bisa menjembatani apa yang perlu dilakukan dengan segera.
Pembangunan infrastruktur untuk tol udara tidak berhenti dan malah makin kenceng demi negara bisa menggeliat dalam aneka hambatan karena pandemi. Anak-anak sekolah, sedikit banyak tidak terlalu parah ketinggalan.
Dunia digital, utamanta media sosial dan media daring menjadi panglima di tengah begitu banyak hambatan dan pembatasan. Aman, nyaman, dan tentu saja sesuai program untuk di rumah saja. Hal yang perlu banyak penyesuaian, kala perilaku hidup dan bermedia sosial anak bangsa ini masih jauh dari harapan.
Merasa bahwa itu dunia maya, biasa dan sangat mungkin abai etika. Karena berjarak dan tidak bertatap muka, berani untuk apa saja, termasuk memfitnah, menyebarkan berita bohong, atau mencela sana-sini.
Ini bukan ranah benar salah, namun patut atau tidak patut. Penilaian etis atau moral berperan. Maka, kadang susah menjerat dengan UU ITE. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Jefri Nichol yang menyoroti soal etika bermedia sosial. Hal itu dikatakan kala Kominfo bersama Siberkreasi mengadakan acara zoom, pada Sabtu, 31 Juli 2021 lalu. "Ketika kita menjadi diri sendiri, maka kita tidak membohongi orang lain dan membuat orang memiliki ekspektasi yang salah atas diri kita," kata Jefri.