Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

7 Alasan Warga Jengkel pada Nia Ramadhani

13 Juli 2021   15:24 Diperbarui: 13 Juli 2021   16:12 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu, ramaid an panas pembicaraan mengenai Nia Ramadhani yang tertangkap dalam penyalahgunaan narkoba. Bersama sopir dan menyusul suaminya. Polisi sudah menyetujui permohonan rehabilitasi. Wajar banyak pihak yang gerah dengan kesempatan rehab ini. Toh itu hal yang biasa.

Penangkapan artis, pesohor, dan elit penyalahguna narkoba sebenarnya bukan barang baru. Ada Roy Marten yang sampai dua kali, Tessy, Gogon, dan banyak lagi. Toh tidak seheboh Nia Ramadhani ini. Makanya publik juga lebih ribet dan ribut.

Mengapa sih, publik begitu jengkelnya?

Pertama, ini soal iri bersama. Orang, tidak semata jengkel, namun iri dengan nasib mujur Nia Ramadhani yang mendapatkan suami dan mertua kaya raya, masuk jajaran orang terkaya di Indonesia, dan juga dunia, meskipun tidak nomor wahid. Toh masuk jajaran kelompok kaya raya.

Kedua, sebenarnya, bukan hanya Nia Ramadhani yang menjadi menantu dan istri kalangan pengusaha kelas wahid. Ada banyak, namun, perilaku yang mengikuti dan juga asumsi publik tampaknya lain.

Ketiga, ingatan warga masyarakat ketika mendengar penangkapan ini mengaitkan dengan ketidakmampuan menguliti salak. Hal yang sebenarnya biasa. Ada kog anak SMA tidak tahu caranya makan pisang. Karena di rumah sudah dikupas, dipotong, dan tinggal makan dengan garpu.

Pesohor lain juga mengatakan istrinya tidak boleh menggoreng ikan, agar tidak terkena minyak panas. Toh, tidak seheboh Nia Ramadhani mengupas salak.

Keempat, asumsi publik menyematkan arogan, sombong, dan lupa diri, ketika ada ungkapan, bagaimana cara mengupas salak. Ini sudah terbentuk, sebagaimana karena poin pertama. Orang iri dulu, kemudian mendapatkan provokasi.

Kelima, ini soal afiliasi politik, berkaitan dengan perilaku media dan jalan yang ditempuh Bakri sebagai pemilik, dan kebetulan anak dan mantunya berkasus. Mereka berlaku sebagai oposan dengan cara berlebihan.

Kejengkelan publik seolah terlampiaskan, apalagi TV One, yang biasa menjadi ajang pembullyan pada pemerintah, melalui salah satunya ILC, tidak menayangkan kasus ini, hingga beberapa hari kemudian. Makin menjadi kejengkelan publik.

Keenam, publik jengkel karena perilaku mereka, keluarga Bakri yang ditangkap melalui media milik mereka itu terkesan sudah paling baik dan benar. Mengundang dan seolah memberikan panggung pada pihak yang biasa contra dengan berlebihan pada pihak pemerintah.

Inilah momentum pelampiasan kejengkelan publik pada Bakri yang terepresentasikan pada Nia dan Ardi yang sedang menghadapi kasus hukum, narkoba lagi. Hal yang sejatinya juga biasa.

Ketujuh, ini sih kekecewaan, di mana publik menilai, sudah tidak seharusnya level mereka itu menjadi pemain yang menyalahgunakan narkoba. Kejengkelan bertumpuk, apalagi ujung-ujungnya pada penyelesaian hukum hanya semata dagelan.

Apa yang terjadi pada Nia dan Ardi itu hal yang sangat biasa. Namanya juga manusia, mau kaya, miskin, artis, atau pemulung, sama saja. Bisa jatuh pada kondisi yang sama.

Justru menjadi penting adalah, adanya pembinaan, penegakan hukum, dan penyelesaian semua kasus narkoba pada koridor hukum, tanpa pandang bulu. Selama ini toh dengan gamblang terbaca, bagaimana penegakan hukum pada pihak-pihak tertentu sama sekali tidak berlaku.

Jelas pertama adalah penegakan hukum pidana dengan sangat berat, pada sisi pengedar, apalagi bandar. Nyatanya malah teriak-teriak HAM ketika ada bandar dan pedagang gede dihukum mati.

Masalah krusial ini, karena orang menjadi apatis dan penegakan hukum enggan kerja keras karena respon buruk yang diperoleh.  Aneh dan lucu, pelaku pelanggar hukum dibela HAM-nya.

Tebang pilih, kalau artis kelas atas, atau politikus, pengusaha kakap, lenyap, tidak ada tindak lanjut. Cek saja sendiri, ketika itu kalangan tertentu menguap begitu saja.

Masalah narkoba ini bukan semata rusak sesaat, namun juga berkepanjangan, apalagi ketika anak-anak muda dan lebih dini sudah merambah dunia ini. Ini adalah bisnis gede, dan mirisnya banyak kalangan yang memiliki kesempatan untuk membuat hukum terlibat.

Susah berharap bisa memperbaiki keadaan, bangsa ini telah menjadi pasar megagede bagi para mafia narkoba segala jenis. Ketamakan menjadi salah satu hal yang memudahkan perdagangan di sini.

Efek orang menjadi tidak sehat, lemah, dan sangat mungkin menjadi bodoh bisa terjadi. mau apa ketika ke depan tidak ada cukup anak bangsa yang sehat. Sederhana kog, cek berapa banyak kelomok-kelompok yang rentan dengan dunia ini bisa donor darah.

Penegak hukum yang banyak berkecimpung di sana, belum tentu juga bersih.  Toh juga terdengar kan polisi menjadi pengawal barang perusak ini bukan? Semua lini sudah terkontaminasi, jika tidak serius, dan malah menjual pasal, ya sudah siap-siap saja bubar.

Mau ke mana bangsa ini jika tampilan di luar itu berbeda bahkan bertolak belakang dengan waktu yang lain, karena efek narkoba. Yang kelainan saja disembuhkan, ini malah memanggil kelainan sendiri.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun