Jokowi Melawan PDI-P?
Beberapa  hari ini Jokowi melakukan aksi dan langkah politis yang sangat sarat makna, jika amatan nitizen ini benar. Apa yang dijadikan bahan perbincangan. Paling tidak ada dua  atau lebih kejadian yang jika diothak athik gathuk menemukan  dasar asumtifnya.
Pertama, Jokowi mendengarkan keluhan sopir yang biasa berurusan dengan pelabuhan dan gudang, sering mengalami pemalakan. Â Curahan hati dari para sopir melalui media sosial ini ditanggapi dengan cepat oleh presiden dan di depan mereka, presiden menelpon kapolri secara langsung.
Kapolri dan jajaran langsung melakukan tindakan pembersihan. Tentu artikel ini bukan fokus pada soal tindakan kepolisian, titik beratnya pada respons presiden atas curhatan via media sosial.
Mengapa demikian penting? Elit PDI-P Â beberapa waktu lalu mengatakan, pemimpin itu di lapangan, bukan di media sosial. Demi menghantam seorang pemimpin daerah yang memang menggunakan media sosial sebagai sarana pelayanan.
Tidak ada yang salah dengan media sosial, malah lebih cepat, terukur, dan jelas bisa dengan cepat diatasi dan dicarikan jalan keluar. Â Gampang juga membedakan mana yang abal-abal, serius, atau hanya becanda. Piawai atau tidak saja sebenarnya dalam bermain media sosial.
Sekelas pejabat, gubernur, apalagi presiden, gampang dengan memiliki banyak sumber, bisa dijalankan oleh admin. Mereka melakukan screning awal dan mencari  kejelasan, klarifikasi, dan si pejabat aksi pada kondisi semua sudah jelas kebenarannya. Sangat efektif dan efisien.
Masalahnya adalah banyak pejabat yang gaptek, tapii gengsi belajar. Padahal hal yang sangat wajar dan lumrah. Lihat saja oposan menggunakan  media sosial untuk memainkan narasi yang merusak. Jawaban ya pada frekuensi yang sama.
Kedua, mengenai gelar kehormatan yang Megawati terima. Sangat wajar dan mungkin Jokowi ikut ada di sana, sebagai presiden pada pihak kampus, atau sebagai kader jika mendampingi Megawati. Toh  malah mengadakan kunjungan kerja ke Purbalingga, Jawa Tengah.
Ia bersama Ganjar Pranowo di saat bisa saja Jokowi bersama Megawati. Tapi toh sangat mudah dipatahkan, agenda kunjungan kerja jauh lebih dulu, jauh lebih penting, dan memiliki nilai urgenitas yang lebih dibanding seremoni, penyerahan penghargaan, dan banyak dalih lain yang sangat masuk akal.
Mengapa ini bisa menjadi sebuah asumsi jika itu bentuk perlawanan?