Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelaporan Pimpinan KPK, Tiji Tibeh, Harapan dan Kenyataan

10 Juni 2021   12:26 Diperbarui: 10 Juni 2021   12:43 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaporan Pimpinan KPK ke Dewas, Tiji Tibeh, Harapan dan Kenyataan

Salah satu pimpinan KPK dilaporkan kepada dewas. Hal yang sama juga pernah dialami oleh ketua, Firli. Pelapornya sama, para mantan pegawai yang tidak lolos TWK. Cukup menarik, melihat dan mencrmati perilaku mereka ini.

Dulu, getol menolak dewan pengawas dengan dalih lagi dan lagi, pelemahan. Kini, dikit-dikit lapor dewas.  Ini soal konsistensi saja.

Pelaporan, dengan bukti yang benar, valid, dapat dipertanggungjawabkan, bisa diuji dengan bukti dan saksi, bagus. Jika demikian akan menjadi harapan. Mengapa?

Tiji tibeh, satu jatuh, jatuh semua. Hal yang bagus. Kondisi bangsa ini sudah kronis urusan permalingan. Siapa maling, siapa penegak hukum beneran, atau penegak hukum nyambi maling tidak lagi jelas. Siapa yang benar-benar mengabdi bagi bangsa dan negara, atau hanya tampilan di depan layar kaca, semua serba sumir.

Nah, dengan menggigit pihak-pihak lain ada harapan untuk perbaikan. Sikat saja, jika perlu semuanya, tanpa pandang bulu. Mau pejabat atau rakyat, KPK atau penegak hukum, ya hukum kalau salah. Jangan hanya narasi, wacana, dan demi mendapatkan keuntungan dan perlindungan atas perilaku sama buruknya.

Saling memegang kartu ini penyakit bangsa yang perlu disembuhkan. Mereka saling ikat, jegal, dan menyandera. Nah, jika mau sama-sama baik, berubah, dan perbaikan negeri ini, ya buka-bukaan. Sangat mungkin adanya pemutihan, rekonsiliasi nasional, untuk berubah bersama.

Selama ini yang ada adalah, hanya teriakan kemudian sunyi sepi seolah tidak ada apa-apa. Padahal itu menjadi bara di tengah sekam. Kecenderungan ini makin menguat dari waktu ke waktu. Sayang, bangsa sebesar ini, sekaya ini, menjadi terpuruk karena pengelolaan saling jerat dengan kasus demi kasus.

Menutup-nutupi kesalahan sendiri dengan mengorek kesalahan orang lain, tanpa menyelesaikannya. Semua menjadi saling sandera semata. Alangkah elok dan indahnya, jika saling melaporkan itu dengan motivasi perbaikan demi negara dan bangsa. Impian mungkin ya?

Kebiasaan hidup bersama kita tuh, gampang membuang sampah di sebelah, demi tempat sendiri terlihat bersih. Silakan cek dan lihat tabiat kita sehari-hari kalau menyapu halaman misalnya. Membuang sampah wer begitu saja, orang lain yang terdampak mana duli.

Penolakan sutet di mana-mana, atau TPA, tapi kalau jalan tol minta di tanah mereka. Ini kan egoisme bersama-sama. Jangan senggol aku, tapi kamu aku bacok boleh.  Penistaan agama pun model yang sama.

Sikap bertanggung jawab dan mau mengaku salah masih cukup kecil. Sikap ksatria masih terlalu jauh dari harapan. Miris sebenarnya, ketika agama adalah nomer satu, namun prinsip beragama saja lepas seperti ini.

Tanpa sikap bertanggung jawab, merasa bersalah, orang bisa seenaknya sendiri. Sering ada yang bertanya, apa tidak ingat dunia setelah kematian? Mana dipikir lagi konsep demikian. Uang dan  kehormatan menjadi nomer satu. Maunya kaya, tidak susah-susah, dan kehormatan didapat.

Penghargaan atas kekayaan, orang kaya sama juga dengan terhormat, tanpa mau tahu asal dan keberadaan harta dan kekayaan itu.  Penting kaya,  mau rampok, maling, atau apapun tidak menjadi soal. Lagi-lagi ini soal buah beragama. Miris. Kekayaan atas usaha keras dan jalan baik sekiranya harus menjadi pertimbangan utama.

Hukum yang tidak jelas. Nah ini, kunci ada pada penegakan hukum. Penelusuran atas keputusan pengadilan jarang dilakukan. Belum lagi soal putusan yang sangat rendah, permainan saling sandera juga sangat kental.

Susah berharap, ketika pengadilan dan penegak hukum lainnya masih sangat terbuka untuk main mata. Nyatanya selama ini hanya riuh rendah kemudian menguap begitu saja.

Ingatan publik yang sangat pendek dan permisif. Dengungan yang sangat tidak banyak berdampak, hanya membuat  keadaan tidak lebih baik. Energi baik tersita dengan pembicaraan yang itu-itu saja.

Harapan tinggal harapan, jika tidak disikapi dengan serius atas kehendak baik itu.  Entah apakah ada perubahan atas sikap hidup bersama ini. Jika melihat kog begini-begini saja.

Tetap berpengharapan dan optimis, ada perbaikan dan kehendak baik untuk lebih baik. Semua bisa dan mungkin.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun