Simalakama Polisi Menghadapi Ujaran Kebencian
Kemarin, riuh rendah untuk menangani ibu-ibu yang memaki petugas, salah satunya juga polisi tentunya. Mereka, termasuk polisi dimaki anjing, dan aneh dan lucunya, ibu itu mengaku keluarga polisi. Berarti  keluarganya juga anjing? Tentu bukan itu fokus artikel ini.
Akhirnya juga sama, meterai, janji tidak mengulangi, dan kisah lain akan menyusul. Salah satu komentar warganet menyebut, bahwa pasal apa yang mau dikenakan, mana ada jaksa dan hakim yang mau ribet ngurusi hal demikian. Sikap realistis yang cenderung pesimis, berujung pada permisif atas tindak seperti ini.
Benar terulang, ada gadis teriak dan memaki, karena urusan masker. Identik, kata-kata kotor, makian, dan sumpah serapah. Ujungnya juga palingan meterai cemban. Apakah ini cukup, dan mengapa selalu demikian?
Selalu saya tulis, ini soal contoh, keteladanan, dari elit, barisan sakit hati, dan pemuja kekuasaan. Mereka ini "tidak tersentuh  hukum". Pemerintah paham, karena mereka ini kelompok caper, tantrum, dan biar dilirik. Celakanya, mereka semakin didiamkan, semakin ngelunjak. Risiko negara demokrasi belum dewasa ya seperti ini.
Nah, perilaku mereka ini oleh akar rumput dilihat sebagai boleh, baik-baik saja, dan ujungnya gaya bahasa ya jelas sesuai dengan kapasitas dan pengalaman. Elit dan warga sulit sama saja hanya beda dalam akhir penyelesaian. Elit paling diam sebentar usai malu, kalau rakyat biasa, ya meterai.
Perilaku pemuka agama tertentu, ingat tertentu dan perilaku, bukan soal agamanya, semua agama memiliki pemuka agama model ini, cermah, pengajaran agama, apapun namanya menggunakan diksi untuk sekadar menarik publik. Memaki, menjelekkan agama atau pihak lain, cara komunikasi ini dianggap wajar, baik, dan boleh-boleh saja. Legitimasi karena oleh pemuka agama saja boleh.
Pembiaran. Miris, sekian lama, terutama media sosia begitu masif gaya berkomunikasi sangat kasar. Cek saja, paling tidak ketika masa-masa pilpres, mau 14 atau 19. Bahasa dan komunikasi tak elok demikian vulgar. Lha di Kompasiana saja ada beberapa akun model demikian.
Tidak adanya upaya sama sekali pada masa itu, kini menyulitkan. Sudah sangat subur. Seperti gulma sudah menutupi  tanaman baiknya. Ketika mau diluruskan sudah terlalu sulit dan meradang. Tanpa upaya dan kerja keras bisa sangat merusak.
Ada pihak yang memang berkepentingan menciptakan itu. Kelompok yang memang mengupayakan adanya ketidakpercayaan publik pada aparat. Beberapa waktu lalu sempat adanya penangkapan beberapa kelompok yang menggerakan banyak akun media sosial untuk menebarkan ujaran kebencian, hoax, dan tentu saja ada agenda di balik itu semua.
Pengguna media sosial yang berjarak, berani memaki dan mencaci, kemudian semakin berani karena sudah tidak ingat, bahwa itu dunia nyata. Demi viral dan tenar bisa melakukan apa saja, ketika perlawanan salah itu tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Pada akhirnya hanya maaf dan menangis, selesai.
Adanya kepentingan politik. Ketika ada pada satu barisan pembelaan bak babi buta sebagai ebnar adanya. Padahal jelas-jelas melanggar hukum dan aturan. Sempat dulu membuat pemerintah, polisi jerih dan mmbiarkan. Kini makin susah karena akarnya sudah ke mana-mana.
Pada akhirnya penanganan yang tidak menyeluruh, kadang tebang pilih, membuat itu semua menjadi sebuah kebiasaan baru. Mengerikan jika didiamkan saja akan menjadi tabiat, bahkan bisa membudaya di tengah negeri ini.
Kelompok pembela HAM yang sudah susah dipercaya keotentikannya, ketika dikit-dikit teriak HAM, padahal pagi terpidana mati narkoba saja dibela. Pasti nanti aksi-aksi model ini jika dihukum mereka juga akan pansos dan teriak HAM. Lha memangnya HAM membolehkan orang mencaci maki? HAM macam apa jika iya?
Penanganan kalangan elit dengan model mengaku dibajak dan didiamkan saja, kemudian ketika publik sudah agak lupa berulah lagi. Â Kelompok ini diwakili yang mengaku oposan. Tapi sejatinya penggila kekuasaan yang tidak kebagian kursi. Meradang dan menebarkan caci maki. Â Mereka ini bisa berbuat apa saja, padahal sangat mungkin hanya demi menutupi perilaku bejat mereka.
Kalangan bawah akan diurus, ditangkap, dan kemudian menggunakan meterai. Selesai, apakah berubah? Mungkin iya, tetapi yang lain tidak takut dan berbuat yang sama.
Hukuman penjara mungkin berlebihan dan jelas tidak efektif bagi bangsa. Pemborosan jelas. Untuk terpai kejut bisa melakukan terobosan untuk kerja sosial. Kini sangat terbuka kesempatan, suruh menjadi relawan di tempat isolasi dan perawatan covid. Ibu-ibu dan perempuan.
Laki-laki suruh menyapu jalan dan menyeberangkan pada titik-titik keramaian yang membutuhkan jasa penyeberang jalan. Atau malah keras lagi penggali kubur pemakaman covid.
Jangan teriak HAM dan merasa berlebihan. Lha namanya hukuman ya pasti berlebihanlah, biar ada efek kejut dan jera.
Polisi kerja keras dan serba salah, karena kesalahan dan eforia puluhan tahun tanpa kendali. Seolah menjadi bangsa bar-bar tanpa aturan. Padahal berlimpah aturan, namun lemah dalam aplikasi. Sikap tanggung jawab rendah pula. keegoisan menjadi sebuah gaya hidup baru. Diri selalu benar dan pihak lain salah.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H