Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT Novi Nganjuk Mematahkan Tesis Anies Baswedan

12 Mei 2021   21:11 Diperbarui: 12 Mei 2021   21:19 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OTT Novi Nganjuk Mematahkan Tesis Anies Baswedan

Gubernur Jakarta mengatakan, jika korupsi terjadi karena gaji kecil. Tentu saja konteks gaji kecil ini, berkaitan dengan kekayaan yang tidak cukup. Padahal gaji ASN dan pejabat saat ini, jauh bahkan sangat jauh jika dibandingkan dengan masa lalu, apalagi zaman Orba.

Tidak lama, eh Bupati Nganjuk, yang kaya raya itu ternyata juga korupsi. Konon tidak pernah ambil gaji, sejak SMA sudah menjadi pengusaha, coba apa kurangnya jika profil yang ada itu demikian?

Tesis gegabah dan hanya membenarkan diri tidak mampu mengatasi keadaan daerahnya yang baru saja ketangkap korupsi. Reaksi khas Anies yang hanya beretorika. Masalah lebih jauh bukan soal gaji atau tunjangan, namun:

Gaya hidup. Ini masalah klasik yang biasa dialami kaum lupa daratan. Ingat, tabiat nggrangsang itu bukan hanya dari kemiskinan, namun karena sifat tamak.  Pengalaman membuktikan, kalau pejabat yang bisa dipercaya ada juga yang berasal dari keluarga sederhana. demikian mudah ditemukan.

Seberapapun besarnya pengahsilan, jika untuk gaya hidup mana pernah cukup. Ingat dulu almarhum Aji massaid menasihati istrinya Angelina Sondaag yang gila belanja online. Pun ternyata Zumi Zola juga belanja dari luar negeri dengan nilai fantastis.

Belum lagi jika dapurnya dua, tiga, atau empat. Ada candaan, maaf bisa dinilai tabu, berapa kedalaman vagina, ada yang sama ngaconya menjawab, bisa menelan rumahmu, mobilmu, rekeningmu, dan segala sesuatu. Ini menggambarkan bagaimana lawan jenis, karena pelaku korupsi tidak mesti laki-laki. Bisa pula perempuan dan menghidupi dengan kemewahan laki-laki lain. Sangat mungkin.

Partai politik. Pintu menjadi pejabat di Indonesia, saat ini suka atau tidak, tetap partai politik. Kendaraan ini mana gratis. Terlalu naif jika percaya sepenuhnya gratis, apalagi jika orang itu biasa saja. Nah, ketika perlu membesarkan nama, berapa doit yang perlu keluar.

Semua dibeli dengan uang, menaikan popularitas dan kemudian elektabilitas itu perlu dana yang tidak sedikit.  Apa iya, mau kerja bhakti tanpa ada imbalbalik yang sepadan?

Dewan, ormas, timses, dan alur demokrasi yang mengerikan. Jangan kaget, ketika berkaitan dengan dewan itu tidak semudah di media. Sama juga relasi dengan ormas, timses, dan seluruh jaringan politik yang ada.

Jauh lebih sulit kelompok-kelompok ini, beda denga parpol yang biasanya jelas dan sudah "baku."  Relasi jabatan dengan dewan itu lebih susah karena berkaitan dengan roda pemerintahan. Bisa berjalan atau mandeg, dan ujung-ujungnya juga doit.

Politik uang. Berlebihan jika bicara demokrasi kita sudah bersih dari itu semua. Seolah sudah menjadi budaya, semua dinilai dari uang. Tanpa amplop mana datang ke TPS. Pemilih pun menunggu siapa lebih gede dipilih. Ini penyakit kog.

Seolah korupsi sudah menjadi darah dan daging perilaku berbangsa kita. Memilukan sebenarnya mengaku religius, dikit-dikit agama, akherat, tetapi yang mendasar saja, maling dengan sebutan yang  keren korupsi masih mendapatkan tempat terhormat.

Hukuman sosial jika diterapkan akan menjadi efek jera. Toh selama ini, usai keluar dari penjara menjadi calon lagi pun bisa dan menang lagi. Memalukan sebenarnya ada tersangka dilantik dari penjara, merasa tidak malu bersumpah, padahal sedang dalam kasus hukum.

Pemiskinan. Jelas akan memberikan dampak. Namun, selalu saja pembelaan karena dibeli menyulitka perubahan hukum untuk menindak lebih tegas lagi. Nyatanya di penjara mereka masih membeli pasal, kamar, dan bisa leluasa keluar masuk sepanjang ada doit.

Penegakkan hukum yang masih tebang pilih. Tidak usah berpanjang lebar karena sangat banyak contoh faktual hal demikian.

Cabut hak pilih. Koruptor jangan diizinkan menjadi pejabat publik lagi, tanpa pembuktian lebih lanjut usai pidana kurungan. Lihat saja berapa banyak pengulangan  perilaku korupsi itu. Usai dipidana, nyalon lagi, menang lagi, maling lagi.

Masalah memang panjang, penegak hukum yang masih banyak yang masuk angin jelas memberikan dampak cukup besar. Namun, jika masyarakat sudah turun dan menjadikan korupsi musuh bersama, dengan tidak lagi memilih mantan terpidana korupsi untuk menjadi pejabat publik, harapan membaik bisa diyakini.

Rasa malu sudah hilang. Memilukan, kala masyarakat agamis, namun sangat toleran pada korupsi.  Pada sisi lain, menghargai dengan tinggi orang kaya, meskipun hasilnya nyolong. Ini ada masalah dengan cara beragama bangsa ini berarti.

Apa iya, masih akan terus demikian aparat  dan pejabat kita?  Kapan menjadi lebih baik.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun