Belajar dari Meninggalkan Tengku Zulkarnaen dan Permainan Politik dan Covid
Ikut berduka bagi keluarga dan semoga mendapatkan tempat yang terbaik bagi almarhum. Artikel ini tak hendak membahas mendiang dan sepak terjangnya, itu sudah lewat. Namun, ada yang memilukan, ketika membaca lini massa media sosial, padahal para pendukungnya, ada pada satu jalur, namun tidak memberikan doa, malah lagi-lagi tudingan yang ngaco.
Hal yang selalu terulang, dulu mendiang Maher, pas adanya duka mendalam, bencana, kecelakaan, adanya adalah salawi, ujungnya Jokowi salah dan parahnya ganti atau turun. Selalu terulang, dari elit hingga ekonomi sulit ikut-ikutan.
Mengapa membahas ini, tadi membaca, ada ibu-ibu yang menuliskan, kalau ulama yang berseberangan dengan pemerintah PKI, satu demi satu mati copid, asumsi saya, ada tudingan bahwa ini rekayasa, adanya "pembunuhan" berencana pada tokoh yang berseberangan dengan pemerintah.
Memang artikel ini tidak akan berdampak bagi mereka, tetapi memang harus dituliskan, mengapa?
Satu, jika pemerintah memang seperti yang ditudingkan tersebut, mengapa susah-susah dengan corona, tabrak saja di jalan ketika berkegiatan, siapa yang bisa membuktikan. Itu pemerintahan bar-bar dan sudah pernah terjadi.
Nah, jika aparat itu ada di bawah UU, mereka punya begitu melimpah data, sarana, dan juga kesempatan. Membuka CCTV itu bisa, dan sangat mungkin menyingkirkan orang-orang, jika sebagaimana dituduhkan itu, napa susah-susah pakai covid, negara nombok pula.
Atau biarkan saja tergeletak di jalan, selesai, covid juga, kan tidak. Pemerintah sudah bekerja, tidak suka boleh, tetapi tidak ngasal juga.
Dua. Penegakkan hukum pada yang receh, remeh, dan akar rumput.  Ini kebalik, elit yang disikat duluan, nanti yang bawah akan jerih. Berbeda, jika yang bawah disikat, mana duli yang di atas. Lihat saja ala Zon, Refli, Rizal, Said, dan banyak lagi  yang itu itu juga sih sebenarnya.
Pendekatan penegakan hukum yang masaih sangat lemah. Miris memang, karena elit memiliki  kekuatan untuk membuat kekacauan. Ini yang mengerikan. Akar rumput itu hanya korban yang tidak tahu, karena pemikiran yang tidak luas.
Tiga, ulama, sebagiamana kata-kata si ibu, ada mendiang Maher, almarhum Tengku Zul, itu berbeda dengan politikus. Â Mereka, masih taat dan sangat mungkin aman dengan prokes covid. Berbeda dengan pergaulan, sikap kebersamaan para ulama, susah mereka untuk bisa prokes.
Pun, sangat mungkin para politikus itu fasilitas kesehatan premium, jadi aman, berbeda dengan pemuka agama, sudah mobilitas tinggi, kerumunan sangat mungkin terjadi, dan gaya hidup sehat yang buruk.
Apalagi sudah comorbid duluan. Mau apa lagi.
Empat, rata-rata mereka, para korban covid, baik yang sudah meninggal, atau masih bertahan, atau sembuh, adalah para penganut paham covid rekayasa, tidak mungkin kena covid, karena mencampuradukan, iman, kesehatan, dan kadang politik.
Iman itu juga perlu usaha, salah satunya prokes, masker, dan mereka-mereka ini, menafikan itu. kog, malah menyalahkan pemerintah.
Lima, kalau plaku media sosial dan berinternet ria dengan wifi gratisan, mode gratis medsos, atau paketan kek saya gocapan mbok ati-ati, tidak punya jaringan, link, dan juga pembela yang akan meloloskan dari jerat hukum. Berbeda jika anggota dewan, pusat lagi, atau pengurus pusat partai politik.
Kalau warga biasa, lebaran beli rengginang saja nunggu THR, sudahlah, tahu diri tidak usah lebay, pengetahuannya belum menyeluruh, yang dibela dan yang dicaci belum tentu sebagaimana yang terpampang pada media.
Enam, para korban, almarhum, ataupun yang masih di penjara, berproses hukum, mereka ini sejatinya korban. Menjadi alat permainan politik elit yang hanya mau menimbulkan kegaduhan politik. Mirisnya mereka mau-mau saja karena sejatinya tidak tahu.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Pemerintah, tegas menindak siapa saja yang membuat hoax, narasi ngaco, dan bermain-main dengan tudingan asal bicara. Jangan hanya akar rumput, pelaku antah-barantah, justru para elit. Di sanalah induk atau biang masalah.
Sama juga dengan mengatasi mata ikan di telapak kaki, selesaikan saja induknya lainnya akan ikut hilang. Jangan dibalik, percuma. Akan lahir receh-receh baru, karena kekuatan narasi dan uang dari para elit itu.
Pendidikan, ini sih jelas jangka panjang, karena mengubah tabiat, bahkan budaya. Cepet bertindak, lambat berpikir, dan reaktif tanpa tahu konteks dan teksnya terlebih dahulu. Ini jelas pendidikan yang memegang peran krusial.
Peran agama, membina untuk memberikan batasan antara agama, politik, dan sosial ada ranah masing-masing. Kalau dicampuradukan bisa berabe, malah menimbulkan kericuhan di mana-mana.
Partai politik. Memisahkan identitas untuk mendapatkan kekuasaan dan kemenangan. Susah juga, karena alam habitat politiknya masih seperti itu. Lihat saja berapa banyak permainan dengan mengaitkan dan menautkan agama. Malah ada yang nasionalispun lebih kekanan-kananan.
Satu demi satu pembenahan memang sedang terjadi.  Harapan tetap  harus  dijadikan pedoman, ada perubahan namun memang masih berproses.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H