Eddy Rahmayadi-Bobby, Mengingatkan Rivalitas Risma-Khofifah
Pas pandemi mulai menanjak, Surabaya sering terdengar perselisihan walikota dan gubernur. Saat ini, kalau ada diskusi menyebut kisah ribet dan ribut mereka, saya menjawab, biasa model bersaing perempuan.
Eh, ternyata, kurang lebih setahun, apalagi Risma malah naik kelas jauh menjadi menteri, uniknya menggantikan kedudukan Khofifah pada waktu lampau. Kini, ada "perseteruan" baru, Bobby-Eddy Rahmayadi. Ini lebih lucu dan konyol lagi.
Artikel ini tak hendak membahas mengenai kisah Eddy-Bobby pada masalah mereka, namun rivalitas politis itu, Â yang sangat mungkin bisa terjadi antara wakil dan bupati-walikota, atau gubernur. Sama juga menteri dan presiden. Tentu masih ingat Pak JK melawan Pak SBY dalam pilpres. Atau Pak SBY keluar kabinet dan menantang Ibu Mega bukan?
Hal yang sangat mungkin di dalam alam demokrasi yang masih coba-coba. Â Ranah etis kadang terabaikan, yang penting tenar, wong kadang cemar saja tidak peduli, asal tenar, populer, dan menjadi pusat pembicaraan. Hal yang naif sebenarnya, wong belum tentu tenar itu dipilih.
Toh politikus bangsa ini masih pada taraf ini pemahamannya. Publik pemilih pun belum pinter-pinter amat sebagaimana kata capres Prabowo. Klop, kalau ilmu ekonomi permintaan dan pasarnya ketemu.
Nah, soal perseteruan antara pimpinan daerah, atau anggota kabinet, mengapa terjadi?
Soal popularitas dan ketenaran menjadi nomer satu. Orang berlomba-lomba mendapatkan ketenaran. Kadang, abai soal prestasi, atau memang karena tidak mampu, akhirnya menjual sensasi. Ini model artis pansos, settingan untuk album, film, atau karya baru. Hal yang biasa dalam karya artis yang kelas menengah ke bawah.
Minim prestasi. Padahal dengan kerja keras, prestasi yang mumpuni, sangat mungkin orang untuk memberikan tiket gratis. Begitu banyak model politikus prestasi dan kerja nyata saat ini. ada Tito Karnavian, Listyo Sigit, Andika Perkasa, ini dari militer dan polisi. Politikus ada Anas, ada Ridwan Kamil, Ahok, Risma, dan banyak lagi.
Karya yang gemilang membuat orang menaruh respek dan memberikan kepercayaan. Lihat saja Jokowi dengan jelas sudah membuktikan. Tidak susah-susah, semua bisa mencontoh kog.
Pihak yang enggan atau tidak mampu  berprestasi, mudah yang membuat konflik dengan pihak yang bisa menaikan rating. Pansos bahasa anak sekarang.Â
Peran media. Ini lagi-lagi soal etika. Bagaimana media memberikan judul Bobby menantu Jokowi bla...bla... Lha kan lebay, yang memiliki slip komunikasi  adalah  walikota Medan, apa kaitannya dengan Jokowi coba. Nah Eddy ternyata  juga memanfaatkan ini, saya tidak takut, kamu anak siapa....
Media itu idealnya adalah obyektif, netral, dan tidak tendensius. Memberikan judul demikian, apa artinya? Ya demi mendapatkan klik. Kalau hanya Bobby nanti dikira kucingnya Prabowo mungkin, padahal konteksnya kan Medan dan Sumut.
Persoalan rakyat bisa terabaikan, karena konsentrasi pada keberadaan diri. Publik mengaitkan dengan pilihan mendatang, ini sangat mungkin terjadi di mana-mana. Pilkada dan pilpres membuat kinerja turun.
Konsentrasi dan fokus pada pemilihan bukan pembangunan. Padahal, jika kerjanya bagus, tanpa ngapa-ngapain, juga tenar dan dipilih. Jelas sangat murah jika mau kerja keras dan cerdas.
Pemilihan langsung memang ideal, ketika masyarakat sudah maju, literasi bagus, dan tahu moralitas dengan sangat baik. Nah, parameter itu masih relatif rendah, jadi ya demokrasi yang ada acak kadut, lebih banyak drama, retorika, dan malah kadang adu mempermalukan diri.
Pendidikan politik sangat mendesak. Parpol harus bekerja keras, bukan semata pokok menang, mendapatkan kursi pimpinan daerah. Namun bagaimana publik itu lebih cerdas dan lebih mengerti pemilihan untuk memilih yang terbaik, bukan asal tenar, cakep, banyak muncul di media.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H