Tes Wawasan Kebangsaan KPK dan Hidup Berbangsa
Media, baik arus utama atau sosial, sedang pada heboh mengenai banyaknya pegawai KPK yang isunya tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Ujian dlakukan karena UU KPK baru memasukan pegawai KPK pada jajaran ASN. Mereka juga tunduk pada UU ASN.
Cukup menarik, apalagi kemudian disematkan nama Novel Baswedan di dalam jajaran yang tidak lolos. Beberapa hal layak dicermati lebih jauh;
Pertama, ini adalah lembaga negara, yang karena adanya penyesuaian UU akhirnya harus ada uji, salah satunya wawasan kebangsaan. Lha bagaimana jika hal yang sama juga diujikan untuk seluruh lembaga, termasuk komnas-komnas yang biasa berbicara panjang kali lebar itu.
Mengapa demikian? Konon, menhan yang dulu, bukan yang kini sangat pendiam, yang dulu banyak bicara dan mengatakan lembaga negara, ormas, ASN, mahasiswa sudah terpapar radikalisme, BUMN, dan kementerian.
Lihat saja pernyataan, status media sosial, aktivitas mereka seperti apa. Pembaiatan di  ruang publik, tempat-tempat milik negara, mau kampus, atau kantor-kantor,  dan lembaga negara.  Cek saja, sekali lagi, ini sudah berkali ulang saya tulis di Kompasiana, cek Ilusi Negara Islam Indonesia, hasil kerja NU dan Muhamadiyah sejak 2009.
Kedua, khusus KPK, pantas saja penolakan UU KPK baru begitu masifnya, masih ingat, ketika tahun lampau demo berkali ulang, demi pembatalan UU ini, dan UU lainnya. Ternyata kini makin terbuka memang ada masalah. Usai ketahuan ada  barang bukti lenyap, truk hilang, penyidik mengutip uang dari terduga, dan kini kemampuan dasarnya malah lebih parah.
Masalah KPK itu tidak hanya mengurusi korupsi, ketika ideologi dan politis demikian kental ternguar dari sana. Dugaan, asumsi, dan sekadar curiga, itu tidak legal, nah dengan uji ini terbukti, apa yang terjadi memang demikian adanya.
Ideologi berbagsa, terutama untuk lembaga sekrusial KPK itu memegang peran sangat penting. Pancasila sebagai pedoman kinerja. Jika itu yang menjadi dasar, tentu KPK akan jernih, lurus, dan bisa merampungkan pekerjaan negara yang seolah malah meliar itu.
Ketiga, ujian itu sangat mungkin masih bisa lolos, terkelabuhi, ketika itu hanya pilihan ganda. Berbeda jika tugas makalah, atau minimal uraian panjang dengan tema-tema khusus. Susah untuk menyembunyikan agenda dengan paparan luas. Ada ilmu untuk menilik apa yang ada di balik tulisan itu semua. Tentu hal demikian sudah dipahami oleh penguji dan penyelenggara negara, kecuali mereka sudah terpapar juga.
Pantas saja ada keluhan, ketika usai ujian ada soal mengenai FPI. Ini lagi-lagi indikasi, dan masih semata asumsi. Nah ktika indikasi-indikasi itu semakin banyak, perlu penanganan lanjutan bukan hanya didiamkan.