Benny K. Harman-Demokrat, Pelaporan Risma, dan Politik
Cukup lucu, kala Risma melaporkan dugaan penerima bansos ganda, Benny K. Harman malah menuduh Jokowi lebih kejam dari teroris. Hal yang memang sangat politis, di mana ini aksi orang politik kog. Mengapa demikian? Ada beberapa hal yang sangat menarik, mari kita kulik bersama dengan santai.
Persoalan terorisme sedang panas-panasnya, karena jantung masalah berbangsa sedang dioperasi. Dua kasus besar, Munarman-Rizieq dan KKB Papua. Nada dasar Demokrat sama, identik, sebangun. Bagaimana mereka seolah mendukung Munarman dan KKB bukan kelompok teroris. Â Ini sih soal politik, bukan keberpihakan.
Jauh lebih menarik, mengulas mengenai Benny K. Harman dan pelaporan Mensos Risma mengenai penerima bantuan ganda. Bagaimana bisa lebih kejam dari teroris. Ada beberapa hal yang unik, lucu, atau malah naif?
Pertama, korupsi, ini potensi korupsi, ya harus dilaporkan. Lha malah dikatakan kejam. Apakah penerimanya yang ngaco? Jika iya, orang menerima dobel, ya laporkan saja. Siapa yang membuat menjadi dobel? Jangan sampai seperti dana pesantren yang ternyata juga fiktif.
Lha menjadi aneh, ketika ada pembersihan malah ada yang nyolot. Â Jangan-jangan malu ketahuan belangnya.
Kedua, ya pantas saja, ketika mereka, Demokrat menjadi penguasa, korupsi merajalela. Hambalang, Century, KTP-el yang menjerat elit-elit negeri ini. Pantes tidak dilaporkan, kan kejam jika demikian. ngeri kali pemikiran si Kabur ini.
Malah aneh dan lucu, ketika ada penyimpangan malah didiamkan. Ini bukan soal siapa pelakunya, tetapi perilakunya. Lihat saja maling ayam juga ditangkap, kan besarannya sama.
Ketiga, Kemensos, sangat riskan dengan berbagai pelanggaran. Ini masalah yang dianggap biasa-biasa saja. Toh sudah terbukti, dua menteri masuk bui, dan keadaan juga tidak lebih baik.
Keempat, jangan-jangan ini juga soal malu ketahuan belang dan itu pola mereka mengeruk keuangan negara. Seolah-olah baik-baik saja. Ini masih mungkin lho ya.
Kelima, khas Demokrat, langsung menyasar Jokowi. Ketika yang melaporkan adalah Risma, mengapa Jokowi yang dijadikan sasaran. Lha memangnya mau kalau Hambalang, Century, atau KTP-el disebut SBY tidak mampu mengelola negeri?
Toh tidak demikian. Biasa saja publik menilai dan memberikan penilaian. Ada porsi masing-masing jadi ya tidak usah lebay dan baper.
Keenam. Pendidikan politik yang buruk diberikan oleh yang namanya partai paling demokratis, ingat ini karena namanya yang disandang. Ada beberapa hal,
Satu, ngebet banget berkuasa. Padahal ketika berkuasa amburadul. Bagaimana klaim ngebet itu? Faktualisasinya, selalu menyerang personal presiden, ganti presiden, turunkan presiden. bencana presiden, ada kesalahan presiden, lha dulu kog tidak ada.
Ingat ketika ada anak SMA dimarahi mendiang ibu negara kala itu, saat Jakarta banjir, Jokowi juga yang dicari kog. Jangan belagak lupa, gampang dicari kog.
Dua, demokrasi itu ada waktu. Ya periode lima tahun itu ikuti dengan setia dan taat, jangan dikit-dikit ganti. Padahal pas waktunya pemilihan, tidak ada yang mengajukan. Kan konyol.
Tiga, lha melaporkan dugaan pelanggaran, oleh Mensos, eh kog malah Jokowi yang salah. Ini cenderung menyasar dan mencari-cari kesalahan presiden.
Bagaimana bisa hukum tegak, korupsi selesai, Â minimal tidak lagi msif, jika semua disasar dan diselesaikan dengan politik. Esensi politik adalah kompromi. Ya pantes semua jalan di tempat. Apakah ini gambaran perilaku SBY-Demokrat pada penyelesaian kasus hukum dan masalah? Ya, sangat mungkin. Silakan saja diterjemahkan dan dipahami sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H